Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
Ash-shidq (kejujuran) merupakan “Faridhah Diniyyah” satu kewajiban agama yang berlaku dalam semua bidang kehidupan dan dalam semua keadaan. Baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan berjamaah. Karena kejujuran menunjukkan keikhlasan seseorang yang tertinggi dalam beramal. Bahkan kekuatan suatu ucapan atau tindakan justru ditentukan oleh kejujurannya. Ketika orang-orang munafik mengatakan tentang Rasulullah dan secara lahir ucapan itu benar “Kami bersaksi bahwa engkau (Muhammad) adalah utusan Allah”, namun Allah tetap membantah dan mencap mereka sebagai para pendusta karena kebenaran ucapan mereka hanya sebatas di lisan, tidak disertai dengan kebenaran hati. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”. (Al-Munafiqun: 1)
Demi keagungan sifat shidiq, Allah menyifati diri-Nya dengan sifat ini di dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Seperti dalam surah Ali Imran: 95, “Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Juga dalam surah An-Nisa: 122 “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?” Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (An-Nisa’: 87) dan surah Al-Ahzab: 22, “Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan”.
Beberapa Rasul-Nya juga dimuliakan dan dihiasi dengan sifat ini dalam dakwah mereka, seperti dalam surah Yasin: 53 Allah menjamin kebenaran dan kejujuran para Rasul dalam menyampaikan risalah-Nya, “Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(-Nya)”. dan Maryam: 54. “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” Bahkan sifat ini merupakan sifat dasar para pengemban dakwah. Terutama Rasulullah saw selaku uswah dalam semua sifat-sifat yang baik. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau sudah dikenal di tengah-tengah masyarakatnya dengan gelar “Ash-shadiqul Amin”. Sangat jelas kepemimpinan dalam dakwah sangat menuntut keteladanan dalam kejujuran dan kebenaran dalam aktivitas dakwahnya.
Begitu besar nilai shidiq dalam kehidupan seseorang. Tentunya bagi seorang dai. Bahkan jika seseorang mampu komitmen dengan sifat ini dalam apa jua keadaan dan tidak pernah meninggalkannya, maka ia akan meraih gelar shiddiq. Dan kedudukan orang-orang shiddiqin adalah di bawah kedudukan para nabi. “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (An-Nisa’: 69)
Diriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik sepakat untuk melontarkan tuduhan keji kepada Rasulullah, tiba-tiba salah seorang yang dikenal sangat memusuhi Rasulullah yaitu An-Nadhr bin Al-Harits malah berbicara dengan lantang di hadapan mereka karena kebenaran dan kejujuran Rasulullah yang tidak bisa disangsikan lagi dan sudah menjadi buah bibir orang banyak. “Muhammad adalah seorang yang masih beliau percaya di antara kalian. Ia seorang yang paling benar ucapannya, paling besar sifat amanahnya. Jika ia dikenal demikian, apakah kalian tetap akan menuduhnya sebagai tukang sihir? Tidak, sungguh ia bukan tukang sihir”. Ternyata kejujuran justru bisa menjadi pelindung dari rekayasa dan upaya musuh menghasut kita, secara internal maupun eksternal. Sebaliknya, jika kejujuran atas komitmen dengan dakwah ini berkurang, maka akan mempermudah masuknya rekayasa eksternal atau timbulnya ekses internal yang berdampak kepada menghambat perkembangan dakwah, karena beberapa energi akan dialokasikan untuk membenahi kejujuran secara internal.
Selanjutnya Al-Qur’an menetapkan bahwa sifat shidiq adalah cermin dan sifat dasar orang-orang pilihan dari hamba-hamba-Nya yang shaleh, taat dan lurus, padahal keshalehan, ketaatan dan kelurusan merupakan bagian yang dituntut dalam menegakkan dakwah. Allah menggambarkan sifat orang-orang pilihan-Nya dalam surah Az-Zumar: 33 “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Juga dalam surah Al-Hasyr ayat 8 yang menggambarkan kemuliaan orang-orang Muhajirin, “dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Allah sendiri memerintahkan orang-orang yang beriman agar senantiasa bersikap shidiq setelah perintah-Nya agar mereka bertaqwa. Sehingga kesempurnaan ketakwaan seseorang harus senantiasa diiringi dengan kejujuran dan kebenaran. “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119). Sesungguhnya dalam ayat ini terdapat dua perintah sekaligus, yaitu agar orang-orang beriman senantiasa bersifat shidiq, juga senantiasa berada dalam barisan bersama orang-orang yang shadiq.
Bahkan dalam rangka melakukan konsolidasi dan penguatan barisan aktivis dakwah, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar senantiasa mencari dan mengawasi para pengikutnya, sampai benar-benar ia mengetahui orang-orang yang shadiq di antara mereka demi memelihara kemuliaan mereka dan mengetahui orang-orang yang dusta untuk mewaspadai gerak-gerik mereka. Allah menegaskan dalam firman-Nya, “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (At-Taubah: 43)
Terkait dengan ayat ini, Ibnul Qayyim menjelaskan dengan rinci keutamaan sifat shidiq di dalam kitabnya Madarijus Salikin, bahwa dengan sifat ini akan dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang benar beriman. Sifat inilah yang menjadi ruh amal perbuatan. Oleh karena itu kedudukannya di bawah kedudukan kenabian yang merupakan kedudukan manusia tertinggi di atas muka bumi ini”.
Selanjutnya Ibnul Qayyim menjelaskan dengan lebih rinci bahwa sifat ini sebagaimana dianjurkan dalam perkataan, juga dalam perbuatan dan keadaan. Shidiq dalam perkataan artinya lurusnya lisan dengan ucapan seperti lurusnya ranting di atas dahan. Shidiq dalam perbuatan adalah tegaknya perbuatan sesuai dengan tuntunan perintah seperti tegaknya kepala di atas tubuh seseorang. Dan shidiq dalam keadaan adalah tegaknya amalan-amalan hati dan anggota badan atas dasar ikhlas, kesungguhan dan pengerahan kemampuan yang maksimal.
Demikianlah beragam bentuk kejujuran yang harus dimiliki oleh setiap aktivis dakwah. Dan kejujuran yang paling tinggi adalah kejujuran di dalam memegang sumpah setia dan menunaikan janji dengan dakwah hingga titik darah penghabisan. Seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya yang menunjukkan hanya sebagian aktivis dakwah yang mampu berbuat demikian. “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23)
Contoh dari kejujuran dalam Al-Wafa’ bil Ahdi bisa ditemukan pada pribadi Anas bin An-Nadhr. Ia telah merealisasikan kejujurannya dalam berjanji dengan Allah untuk tetap teguh dalam dakwah hingga meraih syahadah. Ternyata ia ditemukan syahid dengan kondisi tubuh yang penuh dengan luka. Demikian juga kejujuran yang ditunjukkan oleh Mush’ab bin Umair yang jujur dengan komitmen dakwahnya hingga ia syahid dalam dakwah.
Dalam konteks ini, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda, “Para syuhada itu terbagi empat golongan. Pertama di tingkat yang paling tinggi adalah seorang mukmin yang baik imannya. Ia bertemu musuh lantas ia menunjukkan kebenaran dengan janjinya hingga terbunuh. Kedua seseorang yang baik imannya namun begitu takut bertemu musuh, namun kemudian ia terkena anak panah yang nyasar dan meninggal. Ketiga seorang mukmin yang bercampur amal baiknya dengan amal buruk, namun kemudian ia bertemu musuh dan membenarkan janjinya hingga meninggal. Keempat seorang mukmin yang banyak melakukan maksiat, namun kemudian ia bertemu musuh dan terbunuh”.
Dakwah ini akan bisa memberikan kebaikan dan keberkahan manakala dikemudikan dan disertai oleh mereka yang berpegang teguh dengan sifat ini. Betapa dalam urusan jual beli, Rasulullah menyatakan bahwa keberkahan hanya akan diraih jika kedua belah pihak mengedepankan sifat ini. Namun keberkahan itu akan dicabut manakala keduanya atau salah seorang dari mereka tidak peduli lagi dengan kejujuran. “Kedua pihak (penjual dan pembeli) berhak untuk menentukan pilihan selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya maka jual beli mereka akan mendapatkan keberkahan. Namun manakala keduanya berbohong dan menyembunyikan kebenaran, maka keberkahan itu akan dicabut kembali”. (Al-Hadits)
Memang bukan hal yang mudah untuk bisa jujur dalam segala urusan dan dalam semua keadaan. Untuk itu, Nabi Ibrahim, seorang nabi yang shaleh masih tetap dengan penuh tawadhu’ memohon kepada Allah agar senantiasa tutur katanya dijaga oleh Allah sehingga menjadi contoh yang baik bagi generasi kemudian. Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. (Asy-Syu’ara’: 83-84)
Agar bisa dan terbiasa jujur dengan orang lain, perlu diawali dengan jujur terhadap diri sendiri. Terutama jujur dengan kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt. Tentu bisa komitmen dengan sifat ini dalam dakwah membutuhkan motivasi yang tinggi, tekad yang bulat serta keyakinan yang teguh. Diibaratkan oleh Ibnul Qayyim bahwa membawa sifat ini dalam kehidupan seperti mengangkat gunung yang tinggi. Tidak akan ada yang mampu mengangkatnya melainkan orang-orang yang kuat kemauan dan niatnya. Karena kejujuran yang sesungguhnya adalah kejujuran yang ditampilkan saat tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawa kita kecuali dengan berbohong.
Sebagai motivasi, perlu untuk senantiasa diingat balasan yang tinggi bagi orang-orang yang bisa jujur, “Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap-Nya[457]. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119). Dan sebaliknya akibat dan hukuman yang akan dikenakan terhadap orang-orang yang dusta dalam hidupnya. Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (Az-Zumar: 60) betapa kita mendambakan tampilkan aktivis dakwah yang bisa berpegang komit dengan kejujuran dan kebenaran dalam segala situasi dan kondisi apapun, sehingga dakwah ini akan lebih memberikan kebaikan dan keberkahan bagi umat Islam. Sudah saatnya memang kita merefleksi sejauhmana tingkat kejujuran kita dengan dakwah ini. Wallahu A’lam.
Selasa, 22 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar