Selasa, 22 Juni 2010

Romantis Islami

Berawal dari sebuah keraguan
Saya ragu bahwa banyak orang yang telah menikah masih sempat memaknai arti romantis. Bayangkan saja, setiap hari mereka akan berhadapan
dengan banyak urusan. Entah pekerjaan, keuangan, kondisi rumah yang berantakan, atau juga pendidikan dan perawatan anak-anak. Di tengah itu
semua, nyaris yang ada hanya aktifitas-aktifitas rutin yang statis. Pandangan dan senyuman dari pasangan kita menjadi tidak terlalu berharga. Terlewatkan
setiap hari begitu saja. Kalau ada satu dua ciuman, biasanya di akhir pekan yang melelahkan. Nyaris tak berkesan.Lantas, kemana gerangan perginya
senyum, lirikan dan sentuhan manja yang dulu pernah ada ? Adakah bergantinya siang dan malam telah menggerogoti cinta ? Wallahu a’lam

Berawal dari sebuah keraguan
Saya ragu bahwa teman-teman saya mampu dan berani untuk romantis. Sebab kebanyakan dari mereka para aktifis dakwah- adalah sosok-sosok yang
tampil garang saat berdemonstrasi, serta mempunyai mobilitas dan semangat tinggi dalam beraktifitas. Sementara sebagian yang lainnya adalah sosok-sosok
yang lembut, santun, khusyuk dengan wajah teduh yang khas. Saya ragu kalau mereka mau atau sempat beromantis ria dengan pasangannya sekarang ini atau
kelak ketika menikah. Mendengar istilah romantis saja mungkin terasa asing bahkan cenderung phobi. Yang saya tahu, romantis bagi sebagian dari mereka dipahami
cenderung ke arah cengeng, melankolis, atau bahkan ikut-ikutan gaya barat.

Romantis Islami : Sebuah Pengantar
Belum lagi untuk para aktifis yang mempunyai jam terbang tinggi ; Romantis ? Hmm.. mana sempat akh ,?
Dari keraguan-keraguan diatas, lalu pertanyaan singgah dalam benak saya : Romantis itu sebenarnya apa dan milik siapa ? Maka mulailah saya
berusaha mencari jawaban yang tepat untuk hal itu. Semoga.

Romantis Lintas Batas
Saat seorang ditanya tentang arti romantis, maka segera saja berkelebat bayangan yang indah-indah dalam benaknya. Yang hobbi nonton telenovela
atau sinetron akan menjawab; makan malam bersama pasangan, diterangi sebatang lilin dan ditemani tembang-tembang kenangan itu romantis.
Sementara muda-mudi yang baru kasmaran dengan pacarnya akan mengatakan, romantis itu identik dengan puisi dalam sepucuk surat cinta.
Seorang gadis bisa melayang jiwanya, hanya dengan beberapa bait puisi yang memujinya. Lihat sosok Rangga, dalam film Ada Apa dengan Cinta
dengan puisi-puisinya, katanya mewakili makna romantis, dan tiba-tiba saja gaung film itu membahana.
Lain lagi bagi mereka penggemar film-film Bollywood India, bayangan romantis adalah menari dan menyanyi dengan pasangannya di tempat-tempat
indah. Entah pinggir pantai, lembah atau sepanjang rel kereta api, Rasa-rasanya belum pernah terlihat Shakhrukh Khan dan Kajol menari di tempat yang kotor
dan kumuh. Romantis benar-benar membutuhkan pemandangan alam yang indah ! Bagi mereka yang bergaya eropa abad pertengahan akan segera
menjawab romantis itu seorang pria memberi setangkai bunga pada pasangannya, berdansa, lalu menggendongnya ke tempat tidur. Ibarat seorang
pangeran impian yang menghamba pada seorang putri dari negri dongeng.
Belum selesai sampai di situ saja. Ada sisi lain dari romantis yang jarang diperhatikan banyak orang, yaitu ; tangisan, kesedihan, kasih tak sampai yang
berujung kematian. Lihat saja kisah-kisah yang dikenal banyak orang bertahun-tahun : ada Romeo dan Juliet karangan Shakespare bagi orang Barat, Laila
Majnun karangan Nizami bagi orang Persia dan Arab, atau juga Tenggelamnya Kapal Vanderwijk karya Hamka, pujangga bangsa kita sendiri. Banyak yang
mengatakan ini adalah kisah-kisah romantis yang terbesar sepanjang sejarah.
Kalau benar romantis, berarti yang mereka maksud dengan romantis adalah kasih tak sampai yang berujung kematian. Kita tahu Romeo sepakat untuk
bunuh diri bersama Juliet. Sementara Qais menggila, mati bersimpuh di atas pusara Laila. Sementara Zaenuddin dan Hayati pun ikut-ikutan meninggal dan
tak pernah menemukan muara cintanya. Lalu bisakah dikatakan, bahwa kesedihan sama dengan romantis ?
Mungkin benar dan sangat mungkin tidak. Hingga ada sebuah andekdot yang menyatakan : Jika ada sepasang kekasih sedang mendayung sampan di
tengah danau. Kemudian sampan itu bocor dan hanya ada satu buah pelampung untuk menyelamatkan diri. Keduanya sama-sama tidak bisa
berenang. Nah, pertanyaannya siapa yang akan mengambil pelampung tersebut ? Ternyata jawabannya bisa tiga ; Pertama, kalau cinta laki-laki itu
sejati, maka ia akan memberikan pelampung itu pada kekasihnya. Kedua, jika cintanya palsu, maka ia akan berusaha merebut pelampung itu dan
meyelamatkan dirinya sendiri. Dan yang unik adalah ketiga, jika laki-laki itu seorang yang romantis, maka ia akan membuang pelampung jauh-jauh lalu dan
mengajak kekasihnya untuk tenggelam bersama-sama sambil berpelukan atas nama romantis!!! Saya teringat sabda Rasulullah : Cintamu pada sesuatu, akan
membuatmu buta dan tuli ( HR Abu Daud & Ahmad) Dan kita yakin bahwa kematian itu lebih dari sekedar buta dan tuli.
Pembaca budiman, kalau mengikuti pandangan diatas, maka romantis bisa berarti : pacaran dan surat cinta, memberi bunga dan berdansa, menari di
tempat indah, serta kasih tak sampai yang berujung kematian ? Saya jadi tambah ragu. Andai saja romantis adalah milik mereka yang melakukan
kelakuan-kelakuan diatas, itu berarti teman-teman saya para aktifis dakwah tidak punya harapan untuk menjadi romantis. Jauh sekali dari romantis.
Mereka tidak pacaran, tidak bisa menari, dan untuk memberi bunga saja harus berpikir malu-malu seribu kali. Jadi kapan mereka bisa bisa romantis ?
Kembali sebuah pertanyaan berderak. Menghujam dalam benak.

Sebenarnya, romantis itu apa dan milik siapa ?

Romantis Ala Rasulullah
Jika romantis itu identik dengan memberikan hadiah kepada pasangan, membahagiakan hati pasangan, serta bergembira dan bermesraan bersama
pasangan, maka sesungguhnya sejak berabad yang lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah memberikan banyak contoh romantis bagi kita dalam
potret kehidupan rumah tangga beliau bersama istri-istrinya. Jauh sebelum Wiliam Shakespere sempat menulis cerita romantis romeo dan Juliet.
Lihat saja bagaimana Aisyah ra. terharu saat ditanya tentang kenangannya bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam yang paling
mengagumkan. Istri kesayangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam itu menjawab dengan penghayatan yang begitu dalam : Kaana kullu amrihi ajaba
(Semua tentangnya menakjubkan ! ; HR Abi Daud (IV/334) nomor hadits (5130) ; HR Ahmad (V/194) nomor (21740) dari Abu Darda' Ra.
Seolah-olah Aisyah ra berbalik bertanya : Manakah dari pribadi beliau yang tidak mengagumkan ? Begitu romantisnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
hingga Aisyah tidak bisa melukiskannya dengan kata-kata selain menakjubkan.
Aisyah ra ingat persis ketika Rasulullah saw menggendongnya mesra melihat orang-orang Habsyi bermain-main di pekarangan masjid hingga ia
merasa bosan. Di hari lainnya, suaminya tercinta itu malah mengajaknya berlomba lari dan mencuri kemenangan atasnya saat badannya bertambah
subur. Aisyah ra juga takkan lupa saat Rasulullah saw memanggilnya dengan panggilan kesayangan Humaira (yang pipinya kemerah-merahan). Sebuah
panggilan yang benar-benar mampu membuat pipi Aisyah bersemu merah jambu. Malu dan salah tingkah. Sementara di dalam rumah, potret romantis
Aisyah bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam lebih menakjubkan. Mereka makan sepiring berdua, tidur satu selimut berdua, bahkan hingga
mandi satu bejana ! Bayangkan, adakah yang lebih romantis dari tiga hal tersebut ?
Yang unik lagi misalnya, jika Anda pernah melihat film-film barat, maka ada sebuah kebiasaan aneh saat pesta , yaitu melumuri atau melempar wajah
temannya dengan kue-kue yang ada. Kemudian mereka saling membalas.
Ternyata, uswah kita tercinta shallallahu alaiahi wa salam pernah melakukannya dengan dua istrinya ; Aisyah ra dan Saudah ra. Mereka berdua asyik bercanda,
saling membalas melumuri wajah madunya dengan sebuah makanan sejenis jenang.
(Diriwayatkan oleh At-Thohawy dalam Musykil al-Atasr (X/236) dari Atho' bi Abi Rabah , ( Lihat : Kitab Al-Bayan Wa At-Ta'rif , Ibrahim bin Muhammad Al-Husaini , (I/313)
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam tidak hanya tersenyum simpul, bahkan juga ikut menyemangati kedua istrinya;. Berani mencoba ?
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam adalah seorang lelaki sebagaimana lelaki lainnya, namun bagi para ummahatul mukminin), beliau
bukan sekedar suami yang biasa. Beliau adalah suami yang romantis dengan segenap arti yang bisa diwakili oleh kata romantis. Diriwayatkan dari Umarah,
ia berkata : Saya bertanya kepada Aisyah ra : Bagaimana keadaan Rasulullah bila berduaan dengan isri-istrinya ? Jawabnya : Dia adalah seorang lelaki
seperti lelaki yang lainnya.Tetapi bedanya beliau seorang yang paling mulia, paling lemah lembut, serta senang tertawa dan tersenyum (HR Ibnu Asakir & Ishaq ).
Jika merasa belum lengkap dengan contoh nyata dari kehidupan rumah tangga beliau, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah menegaskan
secara khusus pada umatnya untuk berlaku romantis pada pasangannya.
Beliau bersabda : Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya. Dan aku adalah yang terbaik pada istri dari kamu
sekalian . (HR Tirmidzi & Ibnu Hibban)$. Tidak tanggung-tanggung, bahkan Al-Quran juga telah mengisyaratkan hal yang senada : Dan bergaullah dengan
mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, maka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak ( QS An-Nisa ) Syarat untuk menjadi terbaik, harus berbuat baik terlebih dahulu kepada istri. Berbuat baik itu luas dan banyak peluangnya.
Dari yang sekedar tersenyum, meremas jari tangan, bahkan hingga merawat pasangan kita saat sakit sekalipun. Subhanallah, bermesraan dengan istri itu membahagiakan hati
dan menghapus segala gundah. Dan ternyata bukan itu saja, Islam juga menjadikan kebaikan, kemesraan, dan romantisnya seseorang terhadap pasangannya sebagai ladang pahala,
bahkan kunci surga di akhirat kelak.
Apakah maksud kunci surga itu ? Semoga dua hadits di bawah ini cukup bisa memberi jawaban bagi kita.
Dari Hushain bin Muhshan bahwa bibinya datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, lalu beliau bertanya kepadanya, Apakah engkau mempunyai suami ?
Dia menjawab ;Punya, Beliau bertanya lagi: Bagaimana sikapmu terhadapnya ? Dia menjawab, aku tidak menghiraukannya, kecuali jika aku tidak mampu. Maka beliau
bersabda : Bagaimanapun engkau bersikap begitu kepadanya ? Sesunggguhnya dia adalah surga dan nerakamu) (HR Ahmad).
Juga diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah bersabda : Siapapun wanita yang meninggal dunia sedangkan suaminya dalam keadaan ridha kepadanya,
maka ia masuk surga. (HR. Hakim & Tirmidzi) ,
Ternyata, istri bisa masuk surga karena suami, begitu pula sebaliknya. Kalau masuk neraka ? Wal iyyadzh billah.,1 Walhasil, seharusnya visi awal
sebuah pernikahan adalah bagaimana menjadikan pasangan kita salah satu kunci-kunci surga bagi kita. Karena masuk surga itu penting, tapi lebih penting
lagi masuk surga rame-rame dengan orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita. Apakah bisa disebut bahagia jika kita menyaksikan orang-orang yang kita
cintai dalam keadaan menderita ? Tidak sekali-sekali tidak.

Romantis Tanpa Ragu
Kembali ke teman-teman saya, para aktifis dakwah. Masih dalam keraguan, saya berandai-andai semoga bukan prasangka bahwa kebanyakan
dari mereka phobi dengan romantis karena beberapa hal. Ada beberapa pandangan negatif tentang romantis yang seringkali terbersit dalam pikiran
kita, atau setidaknya yang bisa dijadikan alasan untuk gamang dalam menerima mazhab romantis ini. Anehnya, saya berharap semoga dugaan saya
ini tidak benar.

PANDANGAN PERTAMA,
bahwa romantis dengan istri cenderung melalaikan seseorang dari zikir kepada Allah. Lebih parah lagi, alokasi waktu untuk beromantis ria bersama istri,
bisa melambatkan agenda dan kerja-kerja dakwah.Sebenarnya wajar juga jika ada yang berpikiran seperti ini. Ada beberapa statement dari Al-quran dan hadits yang
mengisyaratkan tentang hal ini, salah satunya ayat tentang prioritas cinta di bawah ini, insya Allah cukup representatif :
Katakanlah, Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cinta dari pada Allah Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang fasik (QS At- ).
Sudah semestinya kita berhati-hati dengan fitnah istri atau suami pasangan hidup. Al-quran sendiri mengisyaratkan bahwa ada kemungkinan
pasangan kita menjadi musuh-musuh kita. Fakta sejarahnya, ingat-ingat cerita tentang Nabi Luth as dan Nabi Sholih as. Tengok sejenak tafsir surat At-Tahrim
atau buku tentang kisah para Nabi. Anda akan menemukan kedua orang shalih itu mendapati istri-istrinya sebagai musuh suaminya dalam dakwah. Bukan
saja memalingkan dari zikir kepada Allah, tapi justru menghalangi dakwah suaminya. Naudzubillah. Saya jadi takut membayangkan para ikhwah pengantin
baru yang tiba-tiba saja sering absen atau telat dalam acara-acara dakwah. Jangan-jangan karena mereka sedang praktek romantis ?
Baiklah, syubhat ini perlu beberapa penjelasan. Semoga Anda tidak bosan.
Yang pertama, semua sepakat bahwa seromantis apapun kita, tidak boleh melalaikan kita dari mencintai Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya. Lalu
bagaimana caranya ? bukankah romantis itu cenderung melalaikan ? Kalau boleh menjawabnya, saya teringat sebuah hadits yang mengisahkan tentang
kerisauan Hanzhalah ra dan Abu Bakar as Shiddiq ra. Mereka saling curhat tentang kondisi ruhiyah mereka yang naik turun. Naik saat mendengar tausiyah
dan taujih dalam majlis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, dan turun saat berkumpul dan bermain bersama anak istri. Saat mereka mengadukan hal ini
pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, beliau bersabda : " Demi zat yang diriku dalam kekuasaannya. Sesungguhnya kalau kamu senantiasa menepati apa yang
pernah kamu dengar ketika bersamaku dan juga tekun dalam zikir, niscaya malaikat akan menjabat tanganmu di tempat-tempat tidurmu dan dijalan-jalan kamu. Akan
tetapi wahai Hanzhalah, sesaat (begini) dan sesaat (begitu) Beliau mengulangi ucapan ini sampai tiga kali.{ HR Muslim )**
11 HR Muslim (IV/2106) nomor (2749) ; HR Ahmad (IV/346) ; HR Tirmidzi (IV/666) nomor (2514) , ia berkata ; Hadits hasan shahih
Ternyata romantis memang ada waktunya. Tidak bisa anytime anywhere, setiap saat dan setiap tempat. Ada batasan yang harus diindahkan. Saat azan
shalat berkumandang, saat panggilan jihad membahana, dan saat jiwa raga kita dibutuhkan untuk dakwah, saatnya energi romantis diubah menjadi semangat
berjuang dan berkorban ! Jadi, rasanya tidak perlu takut untuk romantis, tinggal pintar-pintar saja mengkondisikan waktu dan jiwa kita. Yang harus kita
takuti justru ketika kita berada pada kondisi overcrowded ; Romantisnya tidak, mengingat Allah juga tidak !
Yang kedua, jika selama ini ada kekhawatiran bahwa romantis bersama istri akan melalaikan kita dari mengingat Allah, lalu mengapa tidak kita pakai
analogi terbalik ? Bahwa dengan sesuatu yang romantis kita bisa mengingat Allah. Atau bahwa mengingat Allah, berzikir bersama istri kita justru akan
menjadi suatu hal yang luar biasa romantis ? Ada satu contoh tentang ini dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda : Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun di malam hari lalu sholat, dan ia
membangunkan istrinya lalu istrinya pun sholat. Jika istrinya enggan bangun, ia memercikkan air ke wajah istrinya. Allah Swt merahmati seorang wanita yang bangun
di malam hari lalu sholat, dan ia membangunkan suaminya lalu suaminya pun sholat. Jika suaminya enggan, maka ia memercikkan air ke wajah suaminya. (HR Ibnu
Khuzaimah). Subhanallah, inilah salah satu bukti konkrit betapa sesungguhnya ada celah-celah dan tuntunan untuk romantis dalam beberapa ibadah kita.
Membangunkan istri untuk mengingat Allah, romantis yang nyunah dan romantis yang berpahala. Lebih jauh lagi, romantis yang akan memenuhi kalbu
kita dengan berzikir, dan bertasbih kepada Allah, bukan melalaikannya sebagaimana kekhawatiran kita selama ini.
Shahih Ibnu Khuzaimah (II/183) nomor (1148) ; Shahih Ibnu Hibban (VI/306) nomor (2567) ; HR Abu
Daud (II/33) nomor (1308) ; HR Nasa'I (I/411) nomor (1300); HR Ibnu Majah (I/424) nomor (1336)

Yang ketiga, Islam memberi tuntunan kepada kita, bahwa kesibukan seseorang dalam beribadah, hendaknya tidak melalaikan hak-hak istri atas
suaminya. Tawazun atau proporsional dalam beribadah, begitu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam senantiasa menekankan. Ketika tiga kumpulan
sahabat dengan bersemangat hendak meniru kuantitas ibadah nabi Shallallahu Alaihi Wassalam ; yang pertama berazam untuk bangun malam terus dan tidak
tidur, yang kedua berazam untuk berpuasa terus dan tidak akan berbuka, sementara yang ketiga bertekad menjauhi istrinya agar khusyuk dalam
beribadah, maka apa kata Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam tatkala mendengar hal ini ? Raut wajah beliau berubah tanda ketidak setujuan, lalu bersabda : Aku
ini adalah orang yang paling tahu siapa Allah dan yang paling takut kepada-Nya diantara kamu, tetapi aku ini bangun malam dan tidur. Aku juga berpuasa dan
berbuka. Dan aku pun kawin dengan sejumlah perempuan Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam pun melanjutkan dengan sebuah statement yang mencerminkan kemarahan beliau atas tingkah para sahabatnya ini : Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, berarti dia bukan dari golonganku. ( HR Muttafaq alaih dari Anas bin Malik ).
Subhanallah, betapa indah dan adilnya syariat Islam. Pada satu sisi menyuruh kita untuk memprioritaskan cinta pada Allah, Rasul dan Jihad, sementara pada sisi yang lain memperingatkan dengan keras terhadap mereka yang melalaikan hak-hak istri mereka, meski atas nama cinta pada Allah dan Rasulnya !
13 HR Muslim (II/1020) nomor (1401) ; HR Bukhori (V/1949) nomor (4776).
Bahkan Aisyah ra pernah menceritakan bagaimana Rasulullah menjaga hak-haknya sebagai istri, meski untuk bermunajat kepada Rabbnya. Aisyah
mengatakan : Suatu malam, ketika beliau tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, beliau berkata. Wahai Aisyah, izinkan aku
beribadah kepada Tuhanku . Aku berkata, Sesungguhnya, aku senang merapat denganmu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuhanmu.
Rasulullah pun bangkit berwudhu dan sejenak kemudian tenggelam dalam munajat dihadapan Rabb-nya dengan air mata khauf membasahi bumi,;.
Menakjubkan, jika seorang Rasulullah minta ijin pada istrinya ditengah kemesraan mereka untuk qiyamul lail dan bermunajat, maka apa lagi yang
membuat kita ragu-ragu untuk romantis dan mesra pada pasangan kita ?

Yang keempat, manusia diciptakan untuk beribadah, setiap gerak laku kita dituntut untuk membuktikan penghambaan kita kepada Allah sang
pencipta. Maka, tak perlu ragu untuk menjadikan romantis pada pasangan sebagai bentuk ibadah. Bukankah jelas-jelas Al-Quran telah mensupport kita
untuk berbuat maruf pada isteri ? Tidak juga kita lupa betapa banyak hadits shahih yang menjelaskan secara detil perintah dan wacana untuk mesra dengan
istri ? Simak salah satu contohnya : Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw mengomentari pernikahannya dengan seorang janda: Mengapa tidak seorang
perawan (yang engkau kawini) ? sehingga engkau bisa bermain dengannya dan ia juga bisa bermain denganmu. (HR Bukhori & Muslim),
Walhasil, niatkan saja romantis kita dalam rangka mentaati perintah Allah swt dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Itulah
hakikat ibadah ; niat tulus dan cara yang benar.
14 Diriwayatkan oleh At-Thohawy dalam Musykil al-Atsar (X/236) dari Atho' bi Abi Rabah , ( Lihat :
Kitab Al-Bayan Wa At-Ta'rif , Ibrahim bin Muhammad Al-Husaini , (I/313)
15 QS An-Nisa 19 : Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri kalian) dengan maruf / baik
16 HR Muslim (II/1088) nomor (715) ; HR Bukhori (II/379) nomor (1991)

Selesai penjelasan tentang syubhat pertama. Mari sejenak merenung. Semoga ada guratan-guratan diwajah kita yang berkurang, memuai. Bukan
malah bertambah.

PANDANGAN KEDUA
Ada yang mengatakan bahwa untuk disebut romantis, biasanya mengikuti cara-cara orang kafir (baca : barat). Contoh yang
paling ringan adalah memberi bunga atau coklat, hingga menari atau berdansa. Dari sini akan muncul kekhawatiran, bahwa perilaku romantis kita
adalah ikut-ikutan gaya barat, sementara Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan kita dalam masalah ini. Beliau mengatakan, Barang siapa
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka (HR Abu Dawud)*. Hasil dari sisi pandang seperti ini, jangan heran kalau kita temukan ada yang
ragu-ragu memberi bunga atau coklat pada pasangannya. Khawatir di sebut ikut-ikutan gaya barat.
Astaghfirullah, pasti diantara kita tidak akan rela ikut disebut dalam barisan kekufuran. Sementara romantis, katanya banyak meniru cara-cara
mereka. Benarkah seperti itu ? baiknya kita tilik lebih jauh permasalahannya ; Pertama, bahwa penekanan tasyabuh (penyerupaan) dalam hadits di
atas lebih banyak pada tasyakkul atau penampilan dan aktifitas lahiriah. Ini sebagaimana Rasulullah memerintahkan kita untuk memelihara jenggot dan
mencukur kumis agar berbeda dengan kaum penyembah api Majusi. Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda : Berbedalah dengan
kaum musyrikin, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis { HR Muslim)*. Masih seputar penampilan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam juga menyuruh kita
untuk menyemir rambut, agar berbeda dengan ahlu Kitab, Yahudi dan Nasrani. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda :
Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka ( HR Bukhari & Muslim ),. Masih banyak
lagi hadits lain yang menegaskan perintah untuk berbeda dengan orang kafir. Bukan disini untuk membahas semua itu lebih jauh.
Selanjutnya, yang disebut larangan untuk tasyabuh dalam hadits di atas, adalah penyerupaan dengan sesuatu yang menjadi ciri khas orang kafir.
Contoh yang lagi menjamur sekarang adalah, banyak anak muda dengan bangga memakai kalung salib atau lambang bintang lima ala Zionis Yahudi di
lehernya. Atau juga, karyawan muslim di pusat perbelanjaan, yang ikut-ikutan pakai kostum Sinterklas di penghujung tahun. Naudzubillah.
Menyerupai, meniru atau memakai atribut yang menjadi ciri khas kaum kafir, itu yang dilarang. Ini berarti, kita tidak bisa sembarangan asal tunjuk
bahwa ini, bahwa itu, adalah perbuatan tasyabuh sebagaimana yang dikecam dalam hadits. Permasalahannya memang masih terus berkembang. Karena saat
ini banyak hal yang awalnya mungkin adalah produk peradaban barat atau orang kafir, namun sekarang berubah menjadi sesuatu yang wajar, mendunia,
dimana setiap orang komunis sekalipun- bisa memakainya. Alias tidak lagi menjadi ciri khas kaum tertentu. Contohnya ; penggunaan setelan jas dan dasi.
Bisa jadi ini dulu produk barat, tapi sekarang tidak lagi bisa membedakan siapa dan apa ideologi pemakainya. Dari pendeta, ulama, hingga koruptor bahkan
seorang penjahat sekalipun sekarang banyak yang tampil dengan setelan jas berdasi.
HR Muslim (III/1663) nomor (2103) ; HR Bukhori (III/1275) nomor (3275)
Nah, dengan demikian memberi bunga dan coklat pada pasangan sungguh tidak pas dikatakan sebagai tasyabuh. Meski demikian kita tetap harus
hati-hati. Ini bisa benar-benar menjadi "tasyabuh" ketika memberikan bunga dan coklat pas hari Valentine plus atas nama merayakannya.
Kedua, Mengenai masalah tampil beda dengan kaum kafir ini, Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya al-Halal wal Haram menuliskan : Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam memerintahkan kaum muslimin agar berbeda dengan mereka, karena beliau ingin mendidik kaum muslimin supaya memiliki
kepribadian tersendiri berbeda secara lahir dan batin, berbeda kejiwaan dan simbol lahiriyahnya. Masih dalam kitab yang sama, beliau juga menukil
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini. Beliau menyatakan : Al-quran, as-Sunnah, dan Ijma memerintahkan agar berbeda
dari orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka secara total. Adalah benar bahwa Rasulullah banyak sekali dalam haditsnya memerintah
kita untuk berbeda dengan orang kafir, bahkan dalam urusan jimak sekalipun. Hingga orang-orang Yahudi pada waktu itu berkomentar sinis : Lelaki ini
(Nabi Muhammad saw) bermaksud tidak akan membiarkan sedikitpun dari urusan kita, melainkan ia selalu mengambil jalan berbeda ( HR Muslim).
Nah, berbeda secara simbol lahiriah dengan orang kafir itu harus. Namun ini tidak menafikkan urgensinya berbeda dengan mereka dari sisi batin. Sisi
ideologi, semangat, pola pikir, izzah dan sebagainya.
Ini hampir senada dengan hadits Islam dimulai dengan sebuah keasingan, dan akan kembali menjadi asing (HR Muslim dari Abu Hurairah) . Pemahaman
tentang Islam yang asing ini bukan berarti asing karena beruzlah, jauh dan menutup diri dari masyarakat. Kalau yang dimaksud seperti ini, berarti tidak
ada kewajiban dakwah dong !. Asing di sini adalah asing dari sisi keyakinan, pola pikir dan amal yaumiyah::. Asing, namun dengan penampilan dan
intensitas pergaulan yang cukup dekat dengan masyarakat yang di dakwahinya. Kalau istilah fikih dakwahnya; yakhtalitun walakin yatamayyazuun ;
bergaul tapi tetap bisa menjaga identitas dan kualitas diri sebagai dai. Bagai ikan di air laut, demikian kata pepatah ; meski hidup di air yang asing,
selamanya tak pernah ikut berasa asin.
Tentang romantis dengan aktifitas seperti yang dilakukan orang barat, lagi-lagi kita dituntut untuk meluruskan niat kita. Innamal a’maalu bin niyat:;.
Bukankah segala sesuatu bergantung pada niatnya ?. Dua orang sama-sama memberi bunga pada istrinya. Jika yang satu niatnya meniru ekspresi cinta
gaya barat dan yang lainnya benar-benar tulus ikhlas untuk membahagiakan istri fillah, maka jelas terasa bedanya. Beda di dunia dan jelas beda di akhirat
nanti.
Ketiga, Sebuah kaidah fikih menyatakan ; al-Asl fil al-Assya al-Ibahah (Segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah / boleh ). Ini berarti dibutuhkan
nash atau dalil khusus, jika ingin menganggap sesuatu itu haram dan harus dijauhi. Tidak sembarangan mengatakan ini tasyabbuh, ini haram dan lain
sebagainya, tanpa didukung dengan argumen syari. Seperti kasus teknik dan adab berhubungan badan dengan istri, Al-Quran menyatakan : Istri-istrimu
adalah (seperti) ladang tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (QS Al- 2.)
Lihat, aturan awalnya adalah : Anna syitum !! Bagaimana saja kamu kehendaki. Kapan saja dan dimana saja, silahkan bersedekah (berjima-red) pada istri-istri
Anda. Namun kemudian, ternyata ada batasan-batasannya ; Bisa kapan saja, kecuali saat haid, nifas, dan saat ihram dan berpuasa. Bisa dimana saja, kecuali
jalan belakang (baca-dubur). Yang perlu dicatat, bahwa semua batasan yang ada didukung dengan ayat dan hadits-hadits dengan kualitas shahih. Bukan
sekedar mengada-ada atas nama feeling apalagi hawa nafsu. Sederhananya, jika romantis dalam rangka berbuat baik dan membahagiakan isteri , bisa dengan cara apa saja, kapan saja, dan bagaimana saja, sejauh tidak melanggar batasan-batasan syariat yang telah digariskan.

Keempat, Sebagai catatan tambahan, tidak semua yang berasal dari barat itu haram atau tercela. Kita bisa mengambil sesuatu darinya, hal-hal yang
menyangkut keduniaan dan hubungan muamalat. Bahkan suatu ketika Rasulullah hallallahu Alaihi Wassalam sendiri pun pernah mengambil pelajaran
dari kebiasaan Persi dan Romawi dalam masalah hubungan badan dengan istri. Dari Aisyah ra, Rasulullah bersabda : Sesungguhnya aku ingin melarang
ghilah (berhubungan badan dengan istri yang masih dalam masa menyusui bayinya) ?, tetapi kemudian aku melihat bangsa Persi dan Romawi melakukannya,
namun tidak membahayakan anak-anak mereka sedikitpun { HR Muslim)
Selain hal di atas, masih lekat dalam ingatan kita bahwa salah satu faktor kemenangan kaum Muslimin dalam perang Khandaq adalah pembuatan parit.
Penggalian parit sebagai strategi perang adalah kebiasaan orang-orang Persia. Bangsa Arab tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Sahabat Salman al-
Farisi lah yang mengusulkannya dan diterima oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, dan berbuah kemenangan.
Dua peristiwa di atas, adalah sebuah kenyataan sejarah yang sejalan dengan isyarat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dalam haditsnya : Hikmah
itu adalah miliknya orang mukmin yang hilang, jika ia menemukannya maka ia lebih berhak atasnya ( HR Tirmidzi) !. Saat ini, mau tak mau nampaknya kita harus
banyak belajar dari barat yang sedang memegang peradaban- khususnya pada bidang-bidang yang mempunyai nilai strategis untuk kemaslahatan umat
Islam, dan juga untuk meninggikan kalimat Allah dimuka bumi ini ( Li Ilaa kalimatillah ). Saat ini tidak perlu ragu untuk belajar kimia, kedokteran, militer
dan sebagainya, asalkan dengan niat yang tulus ; untuk kejayaan Islam.

Romantis,--atau apapun istilah untuk menyebut berbuat baik dan membahagiakan istri adalah diperintahkan dalam Islam. Bukan karena
istilah terminologisnya yang berbau barat, lantas kita menjauhinya tanpa melihat esensinya. Kasus ini mengingatkan kita dengan istilah sosialis,
demokratis, dan humanrights yang secara bahasa berasal dari barat, padahal secara esensi Islam telah lama mengajarkan nilai-nilainya. Berjiwa sosial,
penghargaan atas hak-hak manusia, serta kehidupan yang demokratis adalah bukan barang baru dalam khazanah masyarakat Islam. Untuk kasus-kasus
yang seperti ini, kita perlakukan sebagaimana istilah Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Ushul Isyrinnya ; Al Ibroh bil Musammayaat La bil Asma ( Pelajaran
yang dianggap penting itu ada pada esensi di balik suatu nama (istilah), bukan nama (istilah) itu sendiri )

Kelima, ini yang terakhir. Jika penjelasan di atas dirasa belum mampu menjawab syubhat tentang romantis ala barat, maka saya mengajak Anda
untuk mencukupkan diri dengan romantis ala Rasulullah. Tidak kurang dari puluhan hadits memberikan gambaran utuh suasana romantis dalam rumah
tangga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan para sahabat. Anda bisa mengikuti semua itu tanpa ragu. Dalam Islam kita tidak diperintahkan untuk
melakukan sesuatu dalam keraguan. Rasullah mewasiatkan pada kita tentang hal ini : Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu, dan ambillah apa-apa yang tidak
kau ragukan ( HR.Tirmidzi) ,. Dalam khazanah fikih pun, dikenal kaidah Ittiqoou Syubhat , khosyatal wuqu filharoom yaitu sikap untuk menjauhkan diri
dari segala syubhat, karena takut akan terjerumus pada hal-hal yang diharamkan. Jadi, tidak perlu belajar romantis dari barat, praktekkan saja apa yang
telah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan para sahabat gambarkan tentang romantis, niscaya kita pun akan terengah-engah untuk
mewujudkannya.Kerana begitu banyak hal-hal romantis yang begitu jelas beliau tampilkan dalam kehidupan rumah tangganya. Bahkan seorang
pengantin baru pun, belum tentu bisa sekreatif beliau dalam masalah romantic ini. Telusuri hadits-hadits beliau tentang romantis, insya Allah anda akan
mendapatkan banyak inspirasi dalam memaknai romantis secara lebih luas.
28 Majmuatur Rosail, Risalatut Taklim, Ushul ke 7 dari 20 Prinsip
29 Shahih Ibnu Hibban ( II/498) nomor (722) ; HR Hakim dalam Al-Mustadrok (II/15) nomor (2169) ,ia
berkata : isnadnya shahih ; HR Tirmidzi (IV/668) nomor (2518), ia berkata : hasan shahih

Alhamdulillah. Perkenankan saya tutup pembahasan ini dengan Wallahu a’lam bisshowab. Semoga gurat Anda sedikit tercerahkan. Romantis
tanpa ragu, demikian saya menyebutnya

Romantis Tak Kenal Lelah
Berikutnya, ada pembahasan unik tentang romantis yang tak kalah menarik di banding dua hal diatas. Kita sering mendengar, bahwa romantis
hanya berlaku pada usia muda saja. Mereka yang pengantin barulah yang paling berhak melakukan hal-hal yang indah itu. Sementara mereka yang
menginjak dewasa dengan segenap kesibukannya, atau bahkan mereka yang telah renta dimakan usia tidak wajar jika harus bermain-main dengan aktifitas
yang berlabel romantis. Seperti kata I love you misalnya, jika diucapkan oleh mereka para bapak atau kakek kita, maka minimal sepintas hati kita akan
tersenyum mentertawakannnya. Atau bahkan terharu ? Subhanallah. Kasus lainnya, saat kita melihat sepasang pengantin baru terlihat mesra
dan romantis, maka dengan mudahnya kita akan menyimpulkan ; maklum masih pengantin baru, belum merasakan pahit getirnya hidup berumahtangga.
Seperti itu kah yang sering ada dalam pikiran kita ? Apakah romantis yang bisa kadaluarsa itu benar ? Atau jangan-jangan sikap mental kita yang kalah dan
apatis dalam memperjuangakan romantis dalam rumah tangga kita ?
Baiklah, rasanya pembahasan ini tidak perlu terlalu panjang. Setidaknya ada dua hal yang layak kita jadikan pertimbangan untuk menentang pandangan seperti di atas.

Yang pertama, cukuplah bagi kita untuk menyadari bahwa potret romantis rumah tangga nabawi -- yang begitu banyak tergambar dalam haditshadits
shahih dilakukan oleh seorang suami yang berusia lebih dari setengah abad. Bahkan hampir sebagian ummahatul mukminin adalah para janda yang
berusia tidak muda lagi. Sebut saja Saudah binti Zumah yang karena merasa sudah sangat uzur, memberikan hari gilirannya pada Aisyah ra. Akan tetapi,
pernahkah Anda mendengar saat Aisyah dan Saudah ra di hadapan Rasulullah saw saling bercanda mengoleskan makanan pada wajah satu sama lainnya.
Seolah mereka adalah muda-mudi yang tengah menikmati manisnya cinta ? Saudah pula yang mempunyai banyak guyonan yang kerap membuat
Rasulullah saw tersenyum bahkan tertawa. Ada juga yang namanya Ummu Salamah, janda dari Abu Salamah yang bijak dan berusia senja. Bahkan,
tidak kurang penghulu wanita di surga, hadijah binti huwailid menemani Rasulullah saw selama sekitar 0D tahun kehidupan rumah tangga,
dalam usianya yang cukup renta. Beliau dinikahi Rasulullah saw pada usia ;1 tahun, dan meninggal dunia pada usia ED tahun.
Ingat cerita romantis hadijah ? Saat dengan penuh kasih sayang memeluk dan menyelimuti Rasulullah saw yang masih terguncang karena baru saja
menerima wahyu pertama. Bahkan diriwayatkan saat tersebut hadijah juga memangku suaminya tercinta itu di atas pahanya.=, Tahukah Anda berapa usia
hadijah saat itu ? Limapuluh lima tahun. Pada kenyataannya, hanya tiga orang saja dari para ummahatul mukminin, yang masih bisa terbilang berusia muda saat
menjalani kehidupan rumah tangga bersama Rasul saw. Ada Aisyah ra yang dinikahi pada usia L atau ,, tahun. Ada pula Shofiyah Binti huyai, putri dari yahudi Bani nadhir
yang dinikahi pada usia ,I tahun. an ada pula Juwairiyah binti +arits bin hiror putri pemimpin Bani Mustholaq, yang kerap membuat Aisyah ra cemburu karena kecantikannya.
Ingat cerita Aisyah ra, saat ia masih bertubuh kecil dan adu cepat dalam lari bersama Rasulullah saw. Apa yang terjadi setelah waktu lama berlalu dan
tubuh Aisyah ra menjadi lebih gemuk ? Tanpa ragu sedikitpun Rasulullah saw kembali mengajaknya berlomba lari di depan para sahabatnya.=0
Begitulah, dan cerita-cerita romantis dalam rumah tangga nabawi ini bergulir begitu saja. Tanpa pandang usia dan raga. Sekalipun Rasulullah saw
adalah manusia paling berat amanahnya, paling padat aktifitasnya, namun beliau tetap menjaga suasana rumah tangganya agar tetap ceria. Lantas, apakah
kita yang hanya mengemban sejengkal amanah dan usia baru beranjak dewasa, tiba-tiba mengatakan bahwa romantis is expired alias kadaluwarsa ?
Astaghfirullah.

Yang kedua, Sudah menjadi karakter dari setiap perintah Allah swt, bahwa kita dituntut untuk melakukannya secara istiqomah. Kontinyu atau
terus menerus, sepanjang hayat masih dikandung badan. Tidak ada istilah cuti dalam tuntutan untuk berbuat kejujuran, bersedekah, tersenyum dan perbuatan
mulia lainnya. Bahkan seorang muslim harus benar-benar mengisi dan memanfaatkan waktunya dalam mengoptimalkan setiap perintah Allah, sesuai
dengan kemampuannya masing-masing. Mari kita tinjau sejenak beberapa ayat yang senantiasa menegaskan bahwa berbuat kebaikan atau amalan tertentu,
selayaknya dilakukan pada setiap saat dan setiap tempat. Dalam keadaaan apapun dan bagaimanapun. Ketika muda, bahkan saat tua sekalipun.
Anjuran untuk berjihad dalam berbagai kondisi. Saat sehat ataupun sakit. Saat muda belia ataupun telah renta. Allah swt berfirman : Berangkatlah
kamu (untuk berperang) dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat (QS At-" )* Anjuran untuk berinfak dan sedekah dalam berbagai kondisi. Saat kaya
maupun miskin. Saat sukses ataupun bangkrut. Saat laba maupun rugi. Allah swt berfirman : (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di
waktu lapang maupun sempit (QS A *2) Anjuran untuk berinfak di setiap waktu. Siang dan malam, diketahui orang ataupun tidak. Allah swt berfirman : Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari, secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya QS Anjuran untuk berdzikir setiap saat sepanjang hari. Allah swt berfirman : ..dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada
waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang QS " *2* Anjuran untuk berdzikr dalam berbagai keadaan. Allah swt berfirman :
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring.

*,*
Anjuran untuk tak kenal lelah dalam berdakwah. Allah swt berfirman :(Nabi) Nuh berkata : Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku
(berdakwah) malam dan siang QS ( 6
Lebih jauh, Rasulullah SAW juga menekankan masalah konsisten dalam sebuah proyek amal, apapun bentuknya. Dari Aisyah ra, Beliau bersabda : "
Amal yang paling dicintai di hadapan Allah SWT adalah yang berkelanjutan, meski sedikit " ( HR Muslim)
Nah, lebih jelas bukan permasalahnnya. Begitu pula dengan perintah untuk berbuat baik pada pasangan kita. Berbuat romantis serta membahagiakannya,
juga harus istiqomah. Saat siang romantis, malam lebih romantis. Saat sehat romantis, sakit harus romantis juga. Saat miskin romantis, apalagi saat kaya !
Saat gembira terlihat mesra, saat sedih tetap romantis. Saat muda bisa hyper romantis, saat tua menjadi super romantis !
Walhasil. Boleh jadi raga kita menua, rambut kita memutih dan jiwa kita mulai bosan, tapi romantis lah yang akan membuat hidup kita lebih berwarna,
atau bahkan kembali muda. Sederhananya, sikap mental untuk menyerah dalam hal romantis saat usia kita beranjak tua, sama sekali bukan hal yang bisa
dimaklumi. Apalagi mengatakan bahwa romantis hanya untuk para pasangan muda, sama sekali ini tidak berdasar. Biarkan romantis ini berjalan terus. Tak
kenal lelah dan menyerah. Wallahu alam

Sebuah Kampanye Romantis

Awalnya adalah keraguan.
Lalu berubah menjadi sebuah buku seperti di tangan pembaca sekalian. Buku ini lebih mirip disebut kampanye romantis dari pada sebuah panduan..
Terus terang, saya mengajak Anda semua untuk sebuah romantis yang sederhana, romantis yang tak kenal lelah, bahkan romantis yang berujung
surga. Mari sama-sama meluruskan niat dan terus berusaha. Karena saya sendiri masih terus belajar untuk romantis dan lebih romantis lagi. Kelak saya
ingin istri saya juga berkata jujur : Sungguh, semua tentang suamiku menakjubkan ! Adapun saya, juga akan berujar tentangnya, sebagaimana Rasulullah saw
mengungkapkan kesannya tentang Khadijah ra : Sungguh aku telah diberi rizki mendapatkan cintanya ! (HR Muslim)2)
Sejujurnya, dalam buku ini saya mencoba menginventaris, mengumpulkan hadits-hadits dan keping-keping kisah romantis di jaman Rasulullah saw dan para sahabatnya, kemudian mengajak Anda untuk bersama-sama mentadaburinya. Selebihnya adalah kisah para Nabiyullah bersama istri-istri mereka radhiyallahu anhum. Selebihnya lagi, adalah
ungkapan atau usulan pribadi penulis dalam usaha memaknai romantis secara lebih luas dan lebih beragam, sesuai dengan aturan syariah yang ada. Tentu
saja ini dibatasi dengan pemahaman penulis yang masih begitu kerdil, sempit, dan membutuhkan waktu yang tak pernah usai untuk terus belajar dan
berproses. Semoga Allah mengampuni dan semoga Anda memaklumi.Akhirnya, Barakallah kepada para pengantin baru. Buku ini banyak
ditujukan pada mereka. Agar lebih cepat proses saling mengenal. Agar lebih berani dan tidak ragu-ragu dalam memulai interaksi. Agar lebih cinta, lebih
mesra, sayang, dan tentu saja menjadi lebih romantis. Berani nikah berarti berani untuk berbuat romantis terhadap pasangan kita. Banyak jalan menuju romantis.
Jangan ragu. Sementara bagi mereka yang telah lama berpadu mengarungi bahtera rumah tangga, buku ini menantang Anda untuk lebih
kreatif dan inovatif dalam membahagiakan pasangan. Siapapun Anda, semoga tulisan ini menjadi inspirasi romantis yang tak kenal lelah dan tanpa ragu lagi.
Jadi, ternyata romantis itu milik Anda semua. Tapi banyak kita yang belum menyadarinya.

Hatta Syamsuddin, Lc

KISAH ZAINAB BINTI MUHAMMAD R.A.

Zainab telah wafat sejak 15 abad yang lalu, tetapi dia meninggalkan kenangan terbaik dan menjadi contoh terbaik dalam hal kesetiaan sebagai isteri, keikhlasan cinta dan ketulusan
iman.

Zainab dilahirkan apda tahun 30 setelah kelahiran Nabi SAW. Ketika mencapai usia perkawinan, bibinya, Halah binti Khuwailid, saudara Ummul Mu’minin Khadijah meminang untuk pute- ranya, Abil Ash bin Rabi’. Semua pihak setuju dan ridha. Zainab binti Muhammad SAW diboyong ke rumah Abil Ash bin Rabi’. [Ibnu Sa'ad menyebutkan bahwa Abil Ash mengawini Zainab sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Nabi. Imam Adz-Dzahabi berkata : Ini adalah jauh. Kemudian dia berkata : Zainab masuk Islam dan hijrah 6 tahun sebelum suaminya masuk Islam.

Khadijah pergi menemui kedua suami isteri yang saling mencintai itu dan mendoakan agar keduanya mendapatkan berkah. Kemudian dia melepas kalungnya dan menggantungkannya ke leher Zainab sebagai hadiah bagi pengantin. Perkawinan itu berlangsung sebelum turun wahyu kepada ayahnya, Nabi SAW. Ketika cahaya Tuhan- nya menerangi bumi, Zainab pun beriman. Akan tetapi Abil Ash tidak mudah meninggalkan agamanya. Maka kedua suami isteri itu merasa bahwa kekuatan yang lebih kuat dari cinta mereka berusaha memisah- kan antara keduanya.

Abil Ash tetap membangkang dan berkata :"Tidak akan terca- pai tujuan di antara kita, wahai Zainab, kecuali engkau tetap dalam agamamu dan aku tetap dalam agamaku." Adapun Zainab, maka dia ber- kata :"Sabarlah, wahai suamiku, Engkau tidak halal bagiku selama engkau tetap memeluk agama itu. Maka serahkan aku kepada ayahku atau masuklah Islam bersamaku. Zainab tidak akan menjadi milikmu sejak hari ini, kecuali bila engkau beriman pada agama yang aku imani."

Pasangan suami isteri itu terdiam sebentar sambil merenung. Keduanya sadar ketika terdengar suara yang membisikkan kepada kedua- nya :"Jika agama memisahkan antara kedua jasad mereka, maka cinta mereka akan tetap ada hingga keduanya dipersatukan oleh sebuah agama."

Hari-hari berlalu dalam keadaan ini setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Pasukan Quraisy berangkat menuju Badr untuk meme- rangi Rasul SAW dan di antara mereka terdapat Abil Ash bin Rabi', bukan untuk menyatakan ke-Islamannya, tetapi untuk memerangi Rasul SAW. Situasi menjadi kritis ketika Abil Ash jatuh menjadi tawanan di tangan kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW di Madinah. Kemudian kaum Quraisy mengutus orang untuk menebus tawanan-tawanannya. Zainab pun mengirimkan harta dan sebuah kalung untuk menebus tawanan- nya, Abil Ash bin Rabi'. Ketika Rasulullah SAW melihat kalung itu, beliau merasa iba hatinya dan bersabda :"Jika kalian tidak keberatan melepaskan tawanan dan mengembalikan harta miliknya, maka lakukanlah." Mereka menjawab :"Baiklah, wahai Rasulullah." Kemudian mereka melepas- kannya dan mengembalikan harta milik Zainab. Di sini Rasulullah SAW mendapat janji dari Abil Ash untuk membebaskan Zainab dan mengembali- kannya kepada beliau di Madinah.

Abil Ash kembali ke Mekkah dan di dalam jiwanya terdapat gambaran yang lebih cemerlang dari isteri yang berbakti dan mulia ini. Maka dia kembali bukan untuk berterima kasih atas kebaikan Zainab ke- padanya, akan tetapi untuk berkata keapdanya :"Kembalilah kepada ayah- mu, wahai Zainab." Dia telah memenuhi janjinya kepada Rasulullah SAW untuk membiarkan Zainab pergi kepada Nabi SAW. Abil Ash tidak kuasa menahan tangisnya dan tidak dapat mengantarkannya ke tepi dusun di luar Mekkah, di mana telah menunggu Zaid bin Haritsah dan seorang laki- laki Anshor.

Bagaimana dia mampu melepaskan orang yang dicintainya, sedang dia mengetahui bahwa, itu merupakan perpisahan terakhir selama kekua- saan agama ini berdiri di antara kedua hati dan masing-masing berpe- gang pada agamanya. Abil Ash berkata kepada saudaranya, Kinanah bin Rabi' :"Hai, Saudaraku, tentulah engkau mengetahui kedudukannya dalam jiwaku. Aku tidak menginginkan seorang wanita Quraisy di sampingnya dan engkau tentu tahu bahwa aku tidak sanggup meninggalkannya. Maka temanilah dia menuju tepi dusun, di mana telah menungggu dua utusan Muhammad. Perlakukanlah dia dengan lemah lembut dalam perjalanan dan perhatikanlah dia sebagaimana engkau memperhatikan wanita-wanita ter- pelihara. Lindungilah dia dengan panahmu hingga anak panah yang peng- habisan."

Di saat Zainab sedang bersiap-siap untuk menyusul ayahnya, datanglah Hind binti Utbah, menemuinya, dan dia berkata :"Wahai, puteri Muhammad, aku mendengar bahwa engkau akan menyusul ayahmu !" Zainab menjawab :"Aku tidak ingin melakukannya." Hind berkata :"Wahai puteri pamanku, jangan engkau lakukan. Jika engkau mempunyai keperluan akan suatu barang yang menjadi bekal dalam perjalananmu atau harta yang hendak engkau sampaikan kepada ayahmu, maka aku akan memenuhi keper- luanmu. Maka janganlah engkau segan kepadaku, karena sesuatu yang masuk di antara orang-orang lelaki tidaklah masuk di antara orang- orang wanita." Zainab berkata : "Demi Allah, aku tidak melihatnya mengatakan hal itu, kecuali untuk melakukannya, tetapi aku takut kepadanya. Maka aku menyangkal bahwa aku akan pergi dan aku pun ber- siap-siap."

Setelah menyelesaikan persiapannya, iparnya, Kinanah bin Rabi' menyerahkan kepada Zainab seekor unta, lalu dinaikinya. Kinanah meng- ambil busur dan anak panahnya. Kemudian dia keluar membawa Zainab di waktu siang dan Zainab duduk di dalam pelangkinnya, sementara Kinanah menuntun untanya. Akan tetapi, apakah Quraisy membiarkannya keluar setelah mereka mengalami kekalahan di Badr. Bagaimana dia boleh keluar sementara orang-orang melihat dan mendengarnya ?

Tidak...sekali lagi tidak ! Banyak orang laki-laki Quraisy telah membicarakan hal itu. Maka keluarlah mereka untuk mencarinya hingga mereka berhasil menyusul di Dzi Thuwa. Yang pertama kali me- nemukannya adalah Habbar bin Aswad bin Muththalib dan Nafi' bin Abdul Qais. Habbar menakutinya dengan tombak. Di saat itu Zainab berada di dalam pelangkinnya dan dia sedang dalam keadaan hamil. Ketika pulang, dia mengalami keguguran kandungannya.

Iparnya marah dan berkata kepada para penyerang :"Demi Allah, tidak seorang pun yang mendekat kepadaku, melainkan aku akan memanah- nya." Maka orang-orang bubar meninggalkannya. Abu Sufyan bersama rom- bongan Quraisy datang kepadanya dan berkata :"Hai, orang laki-laki, tahanlah panahmu hingga aku berbicara kepadamu." Maka Kinanah menahan panahnya. Abu Sufyan datang menghampirinya dan berkata :"Tindakanmu tidak tepat. Engkau keluar membawa wanita secara terang-terangan di hadapan orang banyak. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kehinaan yang menimpa kita akibat musibah dan bencana yang telah kita alami sebelum- nya. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kelemahan kita. Demi umurku, kami tidak perlu mencegahnya untuk pergi kepada ayahnya. Kami tidak ingin membalas dendam, tetapi kembalikan wanita itu."

Tatkala suara sudah reda, Kinanah membawa Zainab pada waktu malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya. Keduanya pergi mengantarkan Zainab kepada Rasulullah SAW. Suami isteri jadi berpisah. Tidak ada jalan untuk bertemu. Abil Ash tinggal di Makkah menyendiri dengan pikiran kacau dan hati terluka. Zainab pun tinggal di Madinah dengan badan yang sakit dan hati yang lemah. Kalau saja bukan karena iman dan takwa yang menguatkan tekadnya, tentu dia lekas mati dan tidak dapat bertemu.

Tahun demi tahun berlalu, Abil Ash keluar bersama kafilah dagangnya menuju Syam. Dalam perjalanan pulang dia berjumpa pasukan Rasulullah SAW yang berhasil merampas hartanya, akan tetapi dia bisa lolos. Dia telah kehilangan hartanya dan harta titipan orang banyak. Abil Ash tidak dapat mengembalikan barang-barang titipan itu kepada para pemiliknya. Maka apa yang harus dilakukannya ?

Dia teringat Zainab yang memberinya imbalan berupa cinta dan kesetiaan. Maka Abil Ash memasuki Madinah pada waktu malam dan mohon kepada Zainab agar melindungi dan membantunya untuk mengembalikan hartanya. Maka Zainab pun melindunginya. Orang-orang berlari ke masjid Rasulullah SAW, bertakbir bersama kaum Muslimin. Tiba-tiba terdengar suara teriakan di belakang dinding :"Hai, orang-orang, aku telah me- lindungi Abil Ash bin Rabi'. Dia dalam lindungan dan jaminanku." Ter- nyata, Zainablah yang berseru itu.

Rasulullah SAW menyelesaikan shalatnya, lalu beliau menemui orang banyak dan bersabda :"Wahai, orang-orang, apakah kalian mende- ngar apa yang aku dengar ? Sesungguhnya serendah-rendah orang Muslim adalah dapat memberi perlindungan." Kemudian beliau masuk menemui puterinya dan berbicara kepadanya, Nabi SAW berpesan :"Wahai, puteri- ku, muliakanlah tempatnya dan jangan sampai dia lolos kepadamu, karena engkau tidak halal baginya selama dia masih musyrik." Nabi SAW terkesan melihat kesetiaan puterinya kepada suaminya yang ditinggalkan dan dia putuskan hubungan syahwat dengannya karena perintah Allah SWT.

Di samping itu, Zainab pun masih tetap memberinya kebaktian, kesetiaan dan pertolongan : yaitu kebaktian sebagai wanita muslim, kesetiaan sebagai teman dan pertolongan sebagai manusia. Abil Ash mendapatkan dari Nabi SAW apa yang didengar dan diketahuinya, sehingga dia menyembunyikan dalam hatinya harapan kepada Allah. Kemudian, Nabi SAW mengutus orang kepada pasukan yang merampas harta Abil Ash. Beliau berkata :"Sesungguhnya kalian telah mengetahui kedudukan orang ini terhadap kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian berbuat baik kepadanya dan mengembalikan hartanya, maka kami menyukai hal itu. Jika kalian menolak, maka itu adalah fai' dari Allah yang diberikan-Nya kepada kalian dan kalian lebih berhak atasnya."

Mereka berkata :"Kami akan mengembalikannya kepada Abil Ash." Beberapa orang di antara mereka berkata :"Hai, Abil Ash, maukah engkau masuk Islam dan mengambil harta benda ini, karena semua ini milik orang-orang musyrik ?" Abil Ash menjawab :"Sungguh buruk awal Islamku, jika aku mengkhianati amanatku."

Maka mereka mengembalikan harta itu kepadanya demi kemuliaan Rasulullah SAW dan sebagai penghormatan kepada Zainab. Laki-laki itu pun kembali ke Mekkah dengan membawa hartanya dan harta orang banyak. Jiwanya dipenuhi berbagai makna dan di antara kedua matanya terlihat gambaran yang tidak meninggalkannya.

Setelah mengembalikan harta kepada pemiliknya masing-masing, Abil Ash berdiri dan berkata :"Wahai, kaum Quraisy, apakah masih ada harta seseorang di antara kalian padaku ?" Mereka menjawab :"Tidak. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kami telah mendapati kamu seorang yang jujur dan mulia." Abil Ash berkata :"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Demi Allah, tiada yang menghalangi aku masuk Islam di hadapannya, ke- cuali karena aku khawatir mereka menyangka aku ingin makan harta kalian. Setelah Allah menyampaikannya kepada kalian dan aku selesai membagikan- nya, maka aku masuk Islam."

Asy-Sya'bi berkata :"Zainab masuk Islam dan hijrah, kemudian Abil Ash masuk Islam sesudah itu, dan Islam tidak memisahkan antara keduanya." [Adz-Dzahabi, "Siyar A'laamin Nubala'. Demikian pula kata Qatadah : Dia berkata :"Kemudian diturunkan surah Baro'ah sesudah itu. Maka, jika ada seorang wanita masuk Islam sebelum suaminya, dia hanya boleh mengawininya dengan nikah baru."]

Abil Ash keluar dari Mekkah, hijrah menuju Madinah dengan men- dapat petunjuk iman dan keyakinan. Suami isteri yang saling mencintai bertemu untuk kedua kalinya setelah lama berpisah. Akan tetapi isteri yang setia itu telah menunaikan kewajiban dan menyelesaikan urusan dunianya ketika menyadarkan laki-laki yang dicintainya serta memenuhi hak suaminya sesuai dengan kadar cintanya kepada suami. Tidak lama setelah pertemuan itu, Zainab meninggal dunia.

Zainab meninggal dunia pada tahun 8 Hijriah dan Rasulullah SAW sangat sedih atas kepergiannya. Zainab meninggal dunia setelah mening- galkan kenangan terbaik. Dia telah menjadi contoh terbaik dalam hal kesetiaan isteri, keikhlasan cinta dan kebenaran iman. Tidaklah meng- herankan apabila suaminya berkata dalam suatu perjalanannya ke Syam : “Puteri Al-Amiin, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan setiap suami akan memuji sesuai dengan yang diketahuinya.”

Thuq al-Hamamah

Cinta, Cinta, Cinta. Dalam Cinta, mula-mula engkau bermain-main dan akhirnya sungguh-sungguh. Kedalaman makna cinta sangatlah indah dan agung. Kata-kata semata tak kuasa menggambarkan segenap keindahan dan keagungannya. Hakikatnya tidak dapat kecuali dengan pengamatan dan penjiwaan yang mendalam. Cinta tidak dimusuhi agama dan tidak dibenci syariat.

Mereka yang tak mengenal cinta mencelamu
Sungguh cintamu padanya adalah kewajaran
Mereka bilang, cinta telah membuatmu hina
Padahal ia orang yang paling paham agama

Kukatakan pada mereka, mengapa mencelanya
Karena ia mencintai dan dicintai sang kekasih

Jangan berlagak suci; menyebut cinta sebagai dusta
Bahkan Muhammad pun tak akan mencela pecinta
Dan tak pernah menghina orang yang jatuh cinta

Cinta tidak pernah lelah memberikan ilham dan pencerahan; Cinta pun tak kunjung bosan memberikan masalah dan persoalan kepada umat manusia. Jalan cinta selalu menyediakan aneka pengalaman dan pemandangan, yang indah dan mendamaikan maupun yang pedih dan menyengsarakan. Keindahan dan keagungan cinta selalu menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan karya-karya sastra yang indah dan monumen-monumen agung. Cinta memang sangat menarik untuk dibahas. Walaupun temanya sama yaitu Cinta tetapi cara orang untuk mengungkapkan tema tersebut sangat bervariasi. Setelah sebelumnya kita membahas kitab yang dikarang oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah yang berjudul Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin, ada lagi kitab yang juga berbicara tentang cinta yang tak kalah menariknya yaitu kitab yang berjudul Thuq al-Hamamah yang ditulis oleh Ibnu Hazm Al-Andalusi. Secara sepintas, kedua kitab tersebut sama dalam pembahasan yaitu sama-sama membahas tentang cinta. Bahkan isinya pun juga mirip seperti pembahasan tentang hakikat cinta, tanda-tanda cinta, dan lain sebagainya. Namun, kalau diperhatikan lebih dalam, ada perbedaan yang mencolok diantara kedua kitab tersebut.

Kitab Raudhah al-Muhibbin yang ditulis oleh Ibnul Qayyim membahas cinta antara 2 jenis anak manusia tetapi dikombinasikan dengan sempurna oleh penulis antara cinta tersebut dengan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat jelas tergambar jika kita membaca kitab tersebut dengan penuh perhatian. Dan juga cerita-cerita yang dibawakan banyak berkisar tentang kisah Rasulullah, para sahabat, dan para Tabi'in. Dan juga di dalam kitab ini banyak sekali ayat-ayat Al-Quran, Hadits nabi, dan perkataan para sahabat dan para ulama yang menghiasi bab demi bab. Walaupun demikian, buku ini tetap sangat menarik untuk dibaca oleh para pembaca sampai selesai bahkan berulang-ulang walaupun dihiasi oleh hal-hal yang berbau agama. Karena terkadang banyak orang memisahkan antara dimensi agama dengan dimensi cinta sehingga orang tersebut agak atau bahkan malah tidak menyukai jika cinta dicampuradukkan oleh agama. Tetapi atas izin Allah, Ibnu Qayyim mampu memadukan kedua hal tersebut sehingga para pembaca mengetahui tentang cinta dan secara langsung atau tidak langsung pembaca juga diajak untuk mengetahui tentang hukum syariat tanpa harus digurui. Dan yang lebih menakjubkan lagi, penulis menulis kitab ini pada saat beliau dalam keadaan safar atau dalam perjalanan dimana beliau tidak membawa buku-bukunya dan hanya mengandalkan apa yang ada di dalam benaknya. Mungkin kita akan bertanya, bagaimana jika beliau menulis kitab ini dalam keadaan mukim (menetap) dimana beliau dapat melihat buku-bukunya. Tentu karya yang dihasilkan akan lebih bagus dari ini. Dari sini, tergambar jelas bahwa Ibnul Qayyim memiliki hafalan yang sangat bagus dan analisis yang menakjubkan.

Sedangkan kitab Thuq al-Hamamah yang dikarang oleh Ibnu Hazm lebih banyak memuat tentang cinta antara 2 jenis manusia. Di dalam kitab ini pun penulis tidak banyak membawakan ayat-ayat al-Quran dan Hadist Rasulullah. Penulis juga lebih banyak membawakan kisah-kisah dari Negeri dimana penulis hidup yaitu Andalusia yang sekarang dikenal dengan nama Spanyol. Kisah-kisah tersebut bisa berasal dari orang lain atau pun kisah dari pengalaman pribadi penulis. Penulis juga banyak membuat syair-syair yang indah yang berkenaan dengan suatu kisah. Kitab yang ditulis oleh Ibnu Hazm al-Andalusi ini pada hakekatnya merupakan permintaan seseorang kepada Ibnu Hazm agar dia menyusun sebuah catatan tentang sifat-sifat cinta, makna, sebab-sebab, hakikat dan tujuannya serta segala sesuatu yang mungkin terjadi karenanya dan apa pun yang terkait dengannya dengan apa adanya, tak kurang tak lebih. Dan memang banyak kitab yang dikarang oleh para ulama pada awalnya merupakan sebuah permintaan yang diminta oleh seseorang di dalam suatu perkara. Misalnya saja kitab Aqidah Wasithiyyah karangan Ibnu Taimiyah Rahimahullah yang awalnya merupakan permintaan seorang qadhi dari sebuah wilayah yang bernama Wasith yang meminta beliau untuk menulis sebuah risalah tentang aqidah islam yang ringkas. Dan perlu diketahui bahwa Ibnu Hazm hidup lebih dahulu dibandingkan dengan IBnul Qayyim. Beliau hidup dari tahun 384 H/994 M dan meninggal pada tahun 456 H/1064 M sedangkan Ibnul Qayyim lahir 2 abad kemudian.

Kitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Untaian Kalung Merpati; Seni mencinta dan kisah kasih sepanjang masa ini terbagi atas 30 risalah yang dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang dasar-dasar cinta yang berisi atas 10 risalah. Pada bagian ini para pembaca bisa mengetahui tentang hakikat cinta, tanda-tandanya serta kenapa seseorang bisa jatuh cinta dan bagaimana dia mengungkapkannya. Pada bab pertama ini, Ibnu Hazm mendefinisikan bahwa cinta adalah jembatan penghubung antara jiwa-jiwa manusia yang berbeda-beda kecendrungannya. Sedangkan jiwa itu sendiri pada dasarnya merupakan unsur paling luhur dalam diri manusia. Dan cinta itu timbul karena adanya kesamaan antara 2 orang baik kesamaan sifat, tingkah laku dan sebagainya karena seseorang akan merasa tenang bersama orang yang mempunyai kesamaan dengannya. Sebagaimana dalam kitab Raudhah, kitab ini juga membahas tentang tanda-tanda orang yang sedang jatuh cinta karena cinta mempunyai tanda-tanda. Orang-orang yang pandai dapat mengetahui tanda-tanda itu dan orang yang cerdas dapat menangkapnya. Tanda atau ciri yang pertama adalah pandangan mata. Mata merupakan jendela jiwa. Melalui pandangan mata, seseorang dapat mengungkap rahasia-rahasia jiwa, menyingkap pesan-pesannya, dan menuturkan kedalaman jiwanya. Pandangan seorang pecinta tidak akan berpaling sekejap pun dari orang yang dicintainya.

Tanda cinta berikutnya bisa dilihat dari pembicaraan. Seorang pecinta akan melayani pembicaraan orang yang dicintainya. Tanda lainnya bisa didapatkan dalam gerak tubuh. Gerak tubuh seorang pecinta akan bergegas menuju tempat sang kekasih berada. Tanda lainnya adalah kegamangan sekaligus keceriaan yang tampak wajah sang pecinta saat melihat sang kekasih secara tiba-tiba atau muncul secara tak terduga. Tanda lainnya yang tak kalah pentingnya adalah seorang pecinta melakukan apa saja yang diminta oleh kekasihnya walaupun sebelumnya ia tidak pernah melakukan hal itu dan tidak pernah melakukannya. Hal ini seperti sebuah syair:

Kunikmati semua pembicaraan tentang dirinya
Tercium laksana wangi kesturi yang mempesona
Ketika ia berbicara tentang sesuatu, apa pun itu
Aku bilang, tak pernah kudengar selain darimu.

Meski seandainya aku sedang bersama sang khalifah
Sungguh ia takkan mampu pisahkan aku dari kekasihku
Jika terpaksa aku harus beranjak pergi darinya, maka aku
Selalu menoleh ke arahnya, dan berjalan tanpa arah pasti
Pandangan masih padanya ketika tubuh menjauh darinya
Bak orang yang berjuang melawan arus menenggelamkan

Jika kau tantang aku: Mungkinkah kau tembus angkasa
Ya! jawabku, dan aku tahu tangga untuk menuju kesana

Bagian kedua bercerita tentang berbagai fenomena yang terjadi seputar cinta berikut sifat-sifatnya, yang baik maupun yang buruk. Di dalam bagian ini ada 12 risalah seperti dukungan teman, perjumpaan dengan sang kekasih dan lain sebagainya. Pada bagian ini, penulis menjelaskan bahwa seorang pecinta akan sangat berbahagia jika dia bertemu dengan kekasihnya dan sangat menantikan saat-saat perjumpaan itu. Seorang pecinta juga sangat merindukan agar kekasihnya selalu dekat bersamanya.

Ingin rasanya kukoyak hati ini dengan sebilah belati
Lalu ku masukkan engkau kedalamnya dan kudekap erat
Agar kau tak pernah berpaling ke lain hati
Sampai kiamat dan hari kebangkitan nanti

Kau tinggal didalamnya selama aku hidup dan jika aku mati
Kuingin kau tetap di dalamnya menemaniku dikegelapan abadi

Pada bagian ini juga penulis menulis tentang arti sebuah kesetiaan. Kesetiaan merupakan sifat mulia dan sifat utama yang mesti dimiliki oleh setiap pencinta. Semua hubungan akan menjadi jalinan utuh yang menyenangkan dan membawa kedamaian jika kedua belah pihak saling setia. Kesetiaan merupakan bukti paling kuat dan tanda paling nyata akan kesungguhan hati. Kesetiaan setiap orang berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan potensi dan sifat dasar masing-masing.

Keutamaan setiap manusia dinilai dari kesetiaan
Jangan kau cari bukti yang lain selain kesetiaan

Bagian ketiga menjelaskan tentang hal-hal yang dapat merusak hubungan cinta yaitu gunjingan orang, mata-mata, orang ketiga, perpisahan, dan lain sebagainya. Pada bagian ini penulis menjelaskan tentang sebab-sebab yang merusak cinta dan diharapkan dengan membaca bagian ini kita dapat menghindari hal-hal yang dapat merusak cinta itu sendiri. Cinta mempunyai efek yang sangat negatif jika seorang pecinta tidak dapat berjumpa atau bahkan ditinggalkan oleh kekasihnya. Pecinta tersebut akan merasakan kesedihan yang mendalam sehingga sangat mungkin akibat kesedihan itu ia akan jatuh sakit, merana, dan kehilangan semangat. Kejadian serupa ini sering terjadi dan selalu terjadi di dalam dunia percintaan. Sakit yang ditimbulkan oleh cinta berbeda dengan sakit yang ditimbulkan penyakit. Seorang dokter yang cerdik dan ahli jiwa yang cermat dapat membedakan antara keduanya.

Tanpa ilmu dokter kau blang kepadaku
Berobatlah sebab kau sedang menderita
Tak ada yang tahu sakitku selain diriku
Dan Tuahn, Pemilik sejati yang mulia

Haruskah Kusembunyikan Rasa Sakit ini
Atau kubiarkan si bodoh itu memeriksa
Wajahku pancarkan kesedihan yang nyata
Tubuhku menjadi kurus karena hati merana

Dan memang benarlah perkataan seorang teman Ibn Hazm ketika dia dan Ibn Hazm berdiskusi tentang cinta. Dalam diskusi tersebut, Ibn Hazm bertanya kepadanya,"Bagaimana jika orang yang sedang dilanda cinta itu malah jatuh sakit lantaran cinta?" Lalu, teman beliau pun menjawab,"Penyakit apa yang lebih besar dari cinta?"

Dengan membaca buku ini, para pembaca tidak saja mengetahui tentang apa dan bagaimana itu cinta, tetapi juga pembaca bisa mengetahui tentang sejarah kejayaan Islam di Andalusia (Spanyol) sampai penyerangan ke Cordova oleh Bangsa Bar-bar yang terjadi pada awal Muharram 404 H atau 13 Juli 1013 M dan Pengusiran Muslim spanyol yang berakhir ada 1613 M. Hal ini disebabkan karena penulis sering mengungkapkan keindahan Negeri Andalusia yang indah di dalam kitab ini dan adanya penjelasan yang berupa catatan kaki dari editor kitab ini. Bahkan kita bisa mengetahui tentang kisah cinta para penguasa Andalusia karena penulis memang mempunyai kedudukan dan pengaruh yang besar di Andalusia sehingga mengetahui tentang lika liku kehidupan istana. Buku ini pun di edit dengan baik oleh al-Thahir Ahmad Makki seorang guru besar sastra dan wakil dekan Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo. Beliau mengedit buku ini dengan baik dengan cara menambahkan catatan kaki tentang tokoh-tokoh yang ada di kitab ini sehingga para pembaca bisa mengetahui sejarah singkat tentang tokoh-tokoh yang tertera dalam kitab ini. Di samping itu, editor juga menjelaskan dengan singkat tentang "perjalanan" di awal kitab ini. "Perjalanan" kitab ini sangat panjang dimulai dari seorang Orientalis Belanda, Von Warner, yang menjadi duta besar di Istambul selama 22 tahun dari 1644 M sampai 1665 M yang mendapat naskah kitab ini, kemudian di terjemahkan oleh para orientalis ke dalam berbagai bahasa hingga di edit beberapa kali untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan naskah aslinya sampai hasil dari pengeditan yang terakhir yaitu kitab ini.

Namun, ketika membaca kitab ini terkadang kita dibingungkan oleh tulisan penulis yang bermakna ambigu. Seperti halnya penulis menulis bahwa penulis atau orang lain (laki-laki) pernah mencintai seorang pemuda. Hal ini mungkin agak membingungkan. Apa yang dimaksud dengan kata "mencintai"? Apakah kata "mencintai" itu menunjukkan makna umum seperti halnya orang tua mencintai anaknya ataukah bermakna khusus seperti halnya cinta antar 2 orang kekasih. Kalau bermakna umum, mengapa seolah-olah ditulis seperti bermakna khusus, bahkan disertai dengan syair-syair yang kalau dilihat syair tersebut lebih pantas untuk diberikan kepada cinta yang bermakna khusus. Begitu pula, karena banyaknya tokoh yang disebutkan dalam kitab ini, maka banyak catatan kaki yang ada sehingga terkadang sering membuat para pembaca kebingungan. Maka dari itulah editor berinisiatif untuk membuat sebuah kitab yang berjudul Dirasat 'an Ibn hazm wa Kitabuh Thuq al-Hamamah yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira menjadi Kajian tentang Ibn Hazm dan Buku Thuq al-Hamamah untuk membahas lebih dalam lagi tentang kitab ini. Kita harapkan penerbit kitab ini yaitu Serambi ataupun penerbit lain bersedia menerjemahkan kitab Dirasat tersebut sehingga para pembaca kitab Thuq al-hamamah lebih banyak mengambil faedah.

Dengan membaca kitab Thuq al-Hamamah dan kitab Raudhah, kita mungkin bisa berfikir bahwa para ulama Islam sangat menaruh perhatian terhadap masalah ini. Sebuah masalah dimana banyak seseorang salah arah di dalam hidup ini. Sebuah masalah dimana seseorang banyak terjerumus ke dalam pintu kemaksiatan. Yang dimaksud masalah disini adalah masalah Cinta. Belum lagi dengan buku-buku lain yang membahas tentang cinta yang belum diterjemahkan atau belum dibahas dalam situs ini yang ditulis oleh para ulama dan penulis Islam. Maka akan ada keyakinan yang kuat bahwa Islam merupakan agama yang penuh cinta dan kasih sayang. Hal ini dikarenakan Islam mengatur seluruh kehidupan manusia dari yang terkecil sampai yang terbesar termasuk yang menyangkut tentang Cinta. Bahkan di dalam Al-Quran sendiri pun Allah menegaskan bahwa dia adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahiim yaitu Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Rasulullah pun bersabda:

"Orang-orang yang pengasih itu dikasihi oleh Dzat Yang Maha Pengasih, sayangilah makhluk yang ada di atas bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh Dzat yang berada di atas langit." (Bukhari)

Maka, adalah sangat menggelikan jika ada yang mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris atau agama pembuat onar atau yang semisalnya. Dan memang orang-orang seperti itu sama seperti perkataan:

Apa artinya sinar Matahari
Jika mata yang melihatnya adalah buta

Dan mereka bukanlah buta matanya, tetapi yang buta adalah mata hatinya.
Data Buku
Judul asli: Thuq al-Hamamah

Judul: Untaian Kalung Merpati; Seni mencinta dan kisah kasih sepanjang masa

Pengarang: Ibn Hazm al-Andalusi

Halaman: 346 Halaman

Asma` Binti ‘Umais Radhiallaahu ‘anha

Beliau adalah Asma’ binti Ma`d bin Tamim bin Al-Haris bin Ka`ab Bin Malik bin Quhafah, dipanggil dengan nama Ummu Ubdillah. Beliau adalah termasuk salah satu di antara empat akhwat mukminah yang telah mendapat pengesahan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya: "Ada empat akhwat mukminat yaitu Maimunah, Ummu Fadl, Salma dan Asma" .
Beliau masuk Islam sebelum kaum muslimin memasuki rumah al-Arqam. Beliau adalah istri pahlawan di antara sahabat yaitu Ja`far bin Abi Thalib, sahabat yang memiliki dua sayap sebagaimana gelar yang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikan terhadap beliau. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam manakala ingin mengucapkan salam kepada Abdullah bin Ja`far beliau bersabda :
‘Selamat atas kamu wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayap (Dzul janahain)."
Asma’ termasuk wanita muhajirah pertama, beliau turut berhijrah bersama suaminya yaitu ja`far bin Abi Thalib menuju Habasyah, beliau merasakan pahit getirnya hidup di pengasingan. Adapun suaminya adalah juru bicara kaum muslimin dalam menghadapi raja Habasyah, an-Najasyi.
Di bumi pengasingan tersebut beliau melahirkan tiga putra yakni Abdullah, Muhammad dan Aunan. Adapun putra beliau yaitu Abdullah sangat mirip dengan ayahnya, sedangkan ayahnya sangat mirip dengan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, sehingga hal itu menggembirakan hati beliau dan menumbuhkan perasaan rindu untuk melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ja`far :
"engkau menyerupai bentuk (fisik)-ku dan juga akhlakku."
Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi para muhajirin untuk bertolak menuju Madinah maka hampir-hampir Asma’ terbang karena girangnya, inilah mimpi yang menjadi kenyataan dan jadilah kaum Muslimin mendapatkan negeri mereka dan kelak mereka akan menjadi tentara-tentara Islam yang akan menyebarkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.
Begitulah, Asma ‘ keluar dengan berkendaraan tatkala hijrah untuk kali yang kedua dari negri Habasyah menuju negeri Madinah. Tatkala rombongan muhajirin tiba di Madinah, ketika itu pula mereka mendengar berita bahwa kaum muslimin baru menyelesaikan peperangan dan membawa kemenangan, takbirpun menggema di segala penjuru karena bergembira dengan kemenangan pasukan kaum Muslimin dan kedatangan muhajirin dari Habsyah.
Ja`far bin Abi Thalib datang disambut oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan gembira kemudian beliau cium dahinya seraya bersabda :
"Demi Allah aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan khaibar ataukah kedatangan ja`far."
Asma’ masuk ke dalam rumah Hafshah binti Umar tatkala Nabi menikahinya, tatkala itu Umar masuk ke rumah Hafshah sedangkan Asma’ berada di sisinya, lalu beliau bertanya kepada Hafshah, ‘Siapakah wanita ini?" Hafshah menjawab, "Dia adalah Asma’ binti Umais? Umar bertanya, inikah wanita yang datang dari negeri Habasyah di seberang lautan?’ Asma menjawab, "Benar." Umar berkata; ‘Kami telah mendahului kalian untuk berhijrah bersama Rasul, maka kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dari pada kalian. "Mendengar hal itu Asma’ marah dan tidak kuasa membendung gejolak jiwanya sehingga beliau berkata: "Tidak demi Allah, kalian bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau memberi makan bagi yang kelaparan di antara kalian dan mengajarkan bagi yang masih bodoh diantara kalian, adapun kami di suatu negeri atau di bumi yang jauh dan tidak disukai yakni Habasyah, dan semua itu adalah demi keta`atan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam." Kemudian Asma’ diam sejenak selanjutnya berkata: "Demi Allah aku tidak makan dan tidak minum sehingga aku laporkan hal itu kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kami diganggu dan ditakut-takuti, hal itu juga akan aku sampaikan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, aku akan tanyakan kepada beliau, demi Allah aku tidak berdusta, tidak akan menyimpang dan tidak akan menambah-nambah."
Tatakala Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam datang, maka berkata Asma’ kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, "Wahai Nabi Allah sesungguhnya Umar berkata begini dan begini." Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Umar, "Apa yang telah engkau katakan kepadanya?". Umar menjawab, "Aku katakan begini dan begini". Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asma`:
"Tiada seorangpun yang berhak atas diriku melebihi kalian, adapun dia (Umar) dan para sahabatnya berhijrah satu kali akan tetapi kalian ahlus safinah (yang menumpang kapal) telah berhijrah dua kali."
Maka menjadi berbunga-bungalah hati Asma’ karena pernyataan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tersebut lalu beliau sebarkan berita tersebut di tengah-tengah manusia, hingga orang-orang mengerumuni beliau untuk meminta penjelasan tentang kabar tersebut. Asma’ berkata: "Sungguh aku melihat Abu Musa dan orang-orang yang telah berlayar (berhijrah bersama Asma’ dan suaminya) mendatangiku dan menanyakan kepadaku tentang hadits tersebut, maka tiada sesuatu dari dunia yang lebih menggembirakan dan lebih besar artinya bagi mereka dari apa yang disabdakan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada mereka."
Manakala pasukan kaum muslimin menuju Syam, di antara ketiga panglimanya terdapat suami dari Asma’ yakni Ja`far bin Abi Thalib. Di sana di medan perang Allah memilih beliau di antara sekian pasukan untuk mendapatkan gelar syahid di jalan Allah.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Asma’ dan menanyakan ketiga anaknya, merekapun berkeliling di sekitar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah mencium mereka dan mengusap kepala mereka hingga kedua matanya melelehkan air mata. Berkatalah Asma’ dengan hati yang berdebar-debar menyiratkan kesedihan, "Demi ayah dan ibuku, apa yang membuat anda menangis? Apakah telah sampai suatu kabar kepada anda tentang Ja`far dan sahabatnya?" Beliau menjawab, "Benar, dia gugur hari ini."
Tidak kuasa Asma’ menahan tangisnya kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menghiburnya dan berkata kepadanya:
"Berkabunglah selama tiga hari, kemudian berbuatlah sesukamu setelah itu."
Selanjutnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anggota keluarga beliau:
"Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja`far, karena telah datang peristiwa yang menyibukkan mereka."
Tiada yang dilakukan oleh wanita mukminah ini melainkan mengeringkan air mata, bersabar dan berteguh hati dengan menghaarapkan pahala yang agung dari Allah. Bahkan sewaktu malam beliau bercita-cita agar syahid sebagimana suaminya. terlebih lebih tatkla beliau mendengar salah seorang laki-laki dari Bani Murrah bin Auf berkata: "Tatkala perang tersebut, demi Allah seolah-olah aku melihat Ja`far ketika melompat dari kudanya yang berwarna kekuning-kuningan kemudian beliau berperang hingga terbunuh. Beliau sebelum terbunuh berkata:

Wahai jannah (surga) yang aku dambakan mendiaminya
harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya
tentara Romawi menghampiri liang kuburnya
terhalang jauh dari sanak keluarganya
kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya

Kemudian Ja`far memegang bendera dengan tangan kanannya tapi dipotonglah tangan kanan beliau, kemudian beliau membawa dengan tangan kirinya, akan tetapi dipotonglah tangan kirinya, selanjutnya beliau kempit di dadanya dengan kedua lengannya hingga terbunuh.
Asma` mendapatkan makna dari sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang pernah berkata kepada anaknya :
"Assalamu`alaikum wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayab."
Rupanya Allah menggantikan kedua tangan Ja`far yang terputus dengan dua sayap yang dengannya beliau terbang di jannah sekehendaknya. Seorang ibu yang shalihah tersebut tekun mendidik ketiga anaknya dan membimbing mereka agar mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh ayahnya yang telah sayahid, serta membiasakan mereka dengan tabi`at iman.
Belum lama berselang dari waktu tersebut Abu Bakar Ash-Shidiq datang untuk meminang Asma` Binti Umais setelah wafatnya istri beliau Ummu Rumaan. tiada alasan lagi bagi Asma` menolak pinangan orang seutama Abu Bakar Ash Shidiq, begitulah akhirnya Asma` berpindah ke rumah Abu Bakar Ash Shidiq untuk menambah cahaya kebenaran dan cahaya iman dan untuk mencurahkan cinta dan kesetiaan di rumah tangganya.
Setelah sekian lama beliau malangsungkan pernikahan yang penuh berkah, Allah mengaruniai kepada mereka berdua seorang anak laki-laki. Mereka ingin melangsungkan haji wada`, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan meyertai haji setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintanya. Kemudian Asma` menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit. Kemudian beliau juga menyaksikan suaminya yakni Abu Bakar memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit seperti memerangi orang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat serta mengirim pasukan Usamah dan sikapnya yang teguh laksana gunung tidak ragu -ragu dan tidak pula bimbang, demikian pula beliau menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut.
Asma` senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan beliau hidup bersama suminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar.
Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama sebab khalifah Ash-Shidiq sakit dan semakin bertambah parah hingga keringat membasahi pada bagian atas kedua pipi beliau. Ash-Shidiq dengan ketajaman perasaan seorang mukmin yang shiddiq merasakan dekatnya ajal beliau sehingga beliau bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat beliau adalah agar beliau dimemandikan oleh istrinya Asma` binti Umais, di samping itu beliau berpesan kepada istrinya agar berbuka puasa yang mana beliau berkata: "Berbukalah karena hal itu membuat dirimu lebih kuat."
Asma` merasa telah dekatnya wafat beliau sehingga beliau membaca istirja` dan memohon ampun sedangkan kedua mata beliau tidak berpaling sedikitpun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma` meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikitpun beliau tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka Wa Ta`ala, beliau tetap bersabar dan berteguh hati.
Selanjutnya beliau menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena beliau adalah orang yang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah beliau memandikan suaminya dan hal itu menambah kesedihan dan kesusahan beliau sehingga beliau lupa terhadap wasiat yang kedua. Beliau bertanya kepada para muhajirin yang hadir, "Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin, apakah boleh bagiku untuk mandi?" mereka menjawab, "Tidak."
Di akhir siang sesuai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma` binti Umais ingat wasiat suaminya yang kedua yakni agar beliau berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yang hendak dilakukannya sekarang? sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi, menunggu matahari tenggelam dan orang yang shaum diperbolehkan untuk berbuka? apakah dia akan menunggu sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?
Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi beliau untuk mengkhianati wasiat suaminya yang telah pergi, maka beliau mengambil air dan minum kemudian berkata: "Demi Allah aku tidak akan melanggar janjinya hari ini."
Setelah kepergian suaminya, Asma` melazimi rumahnya dengan mendidik putra-putranya baik dari Ja`far maupun dari Abu Bakar, beliau menyerahkan urusan anak-anaknya kepada Allah dengan memohon kepada-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya dan Allahpun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Inilah puncak dari harapan beliau di dunia dan beliau tidak mengetahui takdir yang akan menimpa beliau yang tersembunyi di balik ilmu Allah.
Dialah Ali bin Abi Thalib saudara dari Ja`far yang memiliki dua sayap mendatangi Asma` untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali kepada saudaranya yang dia cintai yaitu Ja`far begitu pula Abu Bakar Ash Shidiq.
Setelah berulang-ulang berfikir dan mempertimbangkannya dengan matang maka beliau memutuskan untuk menerima lamaran dari Abi Thalib sehingga kesempatan tersebut dapat beliau gunakan untuk membantu membina putra-putra saudaranya Ja`far. Maka berpindahlah Asma` ke dalam rumah tangga Ali setelah wafatnya Fatimah Az Zahra dan ternyata beliau juga memiliki suami yang paling baik dalam bergaul. Senantiasa Asma` memiki kedudukan yang tinggi di mata Ali hingga beliau sering mengulang-ulang di setiap tempat, "Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma` binti Umais".
Allah memberikan kemurahan kepada Ali dengan mangaruniai anak dari Asma` yang bernama Yahya dan Aunan, berlalulah hari demi hari dan Ali menyaksikan pemandangan yang asing yakni putra saudaranya Ja`far sedang berbantahan dengan Muhammad bin Abu Bakar dan masing-masing membanggakan diri dari yang lain dengan mengatakan, "Aku lebih baik dari pada kamu dan ayahku lebih baik dari pada ayahmu." Ali tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan? Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya karena beliau merasa simpati dengan keduanya? Maka tiada yang dapat beliau lakukan selain memanggil ibu mereka yakni Asma` kemudian berkata: "Putuslah antara keduanya! "Dengan pikirannya yang tajam dan hikmah yang mendalam beliau berkata: "Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik dari pada Ja`far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik dari pada Abu Bakar." Inilah yang menyelesaikan urusan mereka berdua dan kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul dan bermain bersama, namun Ali merasa takjub dengan bagusnya keputusan yang diambil Asma` terhadap anak-anaknya, dengan menatap wajah istrinya, beliau berkata: "Engkau tidak menyisakan bagi kami sedikitpun wahai Asma`?" Dengan kecerdasan yang tinggi dan keberanian yang luar biasa ditambah lagi adab yang mulia beliau berkata: Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan anda masih di bawah kebaikan mereka."
Ali tidak merasa asing dengan jawaban istrinya yang cerdas, maka beliau berkata dengan kesatria dan akhlaq yang utama berkata: "Seandainya engkau tidak menjawab dengan jawaban tersebut niscaya aku cela dirimu."
Akhirnya kaum mislimin memilih Ali sebagai Khalifah setelah Utsman bin Affan, maka untuk kedua kalinya Asma` menjadi istri bagi seorang khalifah yang kali ini adalah Khalifah Rasyidin yang ke empat, semoga Allah meridhai mereka semua.
Asma` turut serta memikul tanggung jawab sebagai istri khalifah bagi kaum muslimin dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang besar. Begitu pula dengan Abdullah bin Ja`far dan Muhammad bin Abu Bakar berdiri disamping ayahnya dalam rangka membela kebenaran. Kemudian setelah berselang beberapa lama wafatlah putra beliau Muhammad bin Abu Bakar dan musibah tersebut membawa pengaruh yang besar pada diri beliau, akan tetapi Asma` seorang wanita mukminah tidak mungkin meyelisihi ajaran Islam dengan berteriak-teriak dan meratap dan hal lain-lain yang dilarang dalam Islam. Tiada yang beliau lakukan selain berusaha bersabar dan memohon pertolongan dengan sabar dan shalat terhadap penderitaan yang beliau alami. Asma` selalu memendam kesedihannya hingga payudaranya mengeluarkan darah.
Belum lagi tahun berganti hingga bertambah parah sakit beliau dan menjadi lemah jasmaninya dengan cepat kemudian beliau meninggal dunia. Yang tinggal hanyalah lambang kehormatan yang tercatat dalam sejarah setelah beliau mengukir sebaik-baik contoh dalam hal kebijaksanaan, kesabaran dan kekuatan.

(Diambil dari buku ‘Mengenal Shabiah Nabi’, terbitan Penerbit at-Tibyan, dengan sedikit penambahan atau pengurangan)

Jujur Dengan Dakwah

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

Ash-shidq (kejujuran) merupakan “Faridhah Diniyyah” satu kewajiban agama yang berlaku dalam semua bidang kehidupan dan dalam semua keadaan. Baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan berjamaah. Karena kejujuran menunjukkan keikhlasan seseorang yang tertinggi dalam beramal. Bahkan kekuatan suatu ucapan atau tindakan justru ditentukan oleh kejujurannya. Ketika orang-orang munafik mengatakan tentang Rasulullah dan secara lahir ucapan itu benar “Kami bersaksi bahwa engkau (Muhammad) adalah utusan Allah”, namun Allah tetap membantah dan mencap mereka sebagai para pendusta karena kebenaran ucapan mereka hanya sebatas di lisan, tidak disertai dengan kebenaran hati. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”. (Al-Munafiqun: 1)

Demi keagungan sifat shidiq, Allah menyifati diri-Nya dengan sifat ini di dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Seperti dalam surah Ali Imran: 95, “Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Juga dalam surah An-Nisa: 122 “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?” Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (An-Nisa’: 87) dan surah Al-Ahzab: 22, “Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan”.

Beberapa Rasul-Nya juga dimuliakan dan dihiasi dengan sifat ini dalam dakwah mereka, seperti dalam surah Yasin: 53 Allah menjamin kebenaran dan kejujuran para Rasul dalam menyampaikan risalah-Nya, “Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(-Nya)”. dan Maryam: 54. “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” Bahkan sifat ini merupakan sifat dasar para pengemban dakwah. Terutama Rasulullah saw selaku uswah dalam semua sifat-sifat yang baik. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau sudah dikenal di tengah-tengah masyarakatnya dengan gelar “Ash-shadiqul Amin”. Sangat jelas kepemimpinan dalam dakwah sangat menuntut keteladanan dalam kejujuran dan kebenaran dalam aktivitas dakwahnya.

Begitu besar nilai shidiq dalam kehidupan seseorang. Tentunya bagi seorang dai. Bahkan jika seseorang mampu komitmen dengan sifat ini dalam apa jua keadaan dan tidak pernah meninggalkannya, maka ia akan meraih gelar shiddiq. Dan kedudukan orang-orang shiddiqin adalah di bawah kedudukan para nabi. “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (An-Nisa’: 69)

Diriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik sepakat untuk melontarkan tuduhan keji kepada Rasulullah, tiba-tiba salah seorang yang dikenal sangat memusuhi Rasulullah yaitu An-Nadhr bin Al-Harits malah berbicara dengan lantang di hadapan mereka karena kebenaran dan kejujuran Rasulullah yang tidak bisa disangsikan lagi dan sudah menjadi buah bibir orang banyak. “Muhammad adalah seorang yang masih beliau percaya di antara kalian. Ia seorang yang paling benar ucapannya, paling besar sifat amanahnya. Jika ia dikenal demikian, apakah kalian tetap akan menuduhnya sebagai tukang sihir? Tidak, sungguh ia bukan tukang sihir”. Ternyata kejujuran justru bisa menjadi pelindung dari rekayasa dan upaya musuh menghasut kita, secara internal maupun eksternal. Sebaliknya, jika kejujuran atas komitmen dengan dakwah ini berkurang, maka akan mempermudah masuknya rekayasa eksternal atau timbulnya ekses internal yang berdampak kepada menghambat perkembangan dakwah, karena beberapa energi akan dialokasikan untuk membenahi kejujuran secara internal.

Selanjutnya Al-Qur’an menetapkan bahwa sifat shidiq adalah cermin dan sifat dasar orang-orang pilihan dari hamba-hamba-Nya yang shaleh, taat dan lurus, padahal keshalehan, ketaatan dan kelurusan merupakan bagian yang dituntut dalam menegakkan dakwah. Allah menggambarkan sifat orang-orang pilihan-Nya dalam surah Az-Zumar: 33 “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Juga dalam surah Al-Hasyr ayat 8 yang menggambarkan kemuliaan orang-orang Muhajirin, “dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

Allah sendiri memerintahkan orang-orang yang beriman agar senantiasa bersikap shidiq setelah perintah-Nya agar mereka bertaqwa. Sehingga kesempurnaan ketakwaan seseorang harus senantiasa diiringi dengan kejujuran dan kebenaran. “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119). Sesungguhnya dalam ayat ini terdapat dua perintah sekaligus, yaitu agar orang-orang beriman senantiasa bersifat shidiq, juga senantiasa berada dalam barisan bersama orang-orang yang shadiq.

Bahkan dalam rangka melakukan konsolidasi dan penguatan barisan aktivis dakwah, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar senantiasa mencari dan mengawasi para pengikutnya, sampai benar-benar ia mengetahui orang-orang yang shadiq di antara mereka demi memelihara kemuliaan mereka dan mengetahui orang-orang yang dusta untuk mewaspadai gerak-gerik mereka. Allah menegaskan dalam firman-Nya, “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (At-Taubah: 43)

Terkait dengan ayat ini, Ibnul Qayyim menjelaskan dengan rinci keutamaan sifat shidiq di dalam kitabnya Madarijus Salikin, bahwa dengan sifat ini akan dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang benar beriman. Sifat inilah yang menjadi ruh amal perbuatan. Oleh karena itu kedudukannya di bawah kedudukan kenabian yang merupakan kedudukan manusia tertinggi di atas muka bumi ini”.

Selanjutnya Ibnul Qayyim menjelaskan dengan lebih rinci bahwa sifat ini sebagaimana dianjurkan dalam perkataan, juga dalam perbuatan dan keadaan. Shidiq dalam perkataan artinya lurusnya lisan dengan ucapan seperti lurusnya ranting di atas dahan. Shidiq dalam perbuatan adalah tegaknya perbuatan sesuai dengan tuntunan perintah seperti tegaknya kepala di atas tubuh seseorang. Dan shidiq dalam keadaan adalah tegaknya amalan-amalan hati dan anggota badan atas dasar ikhlas, kesungguhan dan pengerahan kemampuan yang maksimal.

Demikianlah beragam bentuk kejujuran yang harus dimiliki oleh setiap aktivis dakwah. Dan kejujuran yang paling tinggi adalah kejujuran di dalam memegang sumpah setia dan menunaikan janji dengan dakwah hingga titik darah penghabisan. Seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya yang menunjukkan hanya sebagian aktivis dakwah yang mampu berbuat demikian. “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23)

Contoh dari kejujuran dalam Al-Wafa’ bil Ahdi bisa ditemukan pada pribadi Anas bin An-Nadhr. Ia telah merealisasikan kejujurannya dalam berjanji dengan Allah untuk tetap teguh dalam dakwah hingga meraih syahadah. Ternyata ia ditemukan syahid dengan kondisi tubuh yang penuh dengan luka. Demikian juga kejujuran yang ditunjukkan oleh Mush’ab bin Umair yang jujur dengan komitmen dakwahnya hingga ia syahid dalam dakwah.

Dalam konteks ini, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda, “Para syuhada itu terbagi empat golongan. Pertama di tingkat yang paling tinggi adalah seorang mukmin yang baik imannya. Ia bertemu musuh lantas ia menunjukkan kebenaran dengan janjinya hingga terbunuh. Kedua seseorang yang baik imannya namun begitu takut bertemu musuh, namun kemudian ia terkena anak panah yang nyasar dan meninggal. Ketiga seorang mukmin yang bercampur amal baiknya dengan amal buruk, namun kemudian ia bertemu musuh dan membenarkan janjinya hingga meninggal. Keempat seorang mukmin yang banyak melakukan maksiat, namun kemudian ia bertemu musuh dan terbunuh”.

Dakwah ini akan bisa memberikan kebaikan dan keberkahan manakala dikemudikan dan disertai oleh mereka yang berpegang teguh dengan sifat ini. Betapa dalam urusan jual beli, Rasulullah menyatakan bahwa keberkahan hanya akan diraih jika kedua belah pihak mengedepankan sifat ini. Namun keberkahan itu akan dicabut manakala keduanya atau salah seorang dari mereka tidak peduli lagi dengan kejujuran. “Kedua pihak (penjual dan pembeli) berhak untuk menentukan pilihan selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya maka jual beli mereka akan mendapatkan keberkahan. Namun manakala keduanya berbohong dan menyembunyikan kebenaran, maka keberkahan itu akan dicabut kembali”. (Al-Hadits)

Memang bukan hal yang mudah untuk bisa jujur dalam segala urusan dan dalam semua keadaan. Untuk itu, Nabi Ibrahim, seorang nabi yang shaleh masih tetap dengan penuh tawadhu’ memohon kepada Allah agar senantiasa tutur katanya dijaga oleh Allah sehingga menjadi contoh yang baik bagi generasi kemudian. Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. (Asy-Syu’ara’: 83-84)

Agar bisa dan terbiasa jujur dengan orang lain, perlu diawali dengan jujur terhadap diri sendiri. Terutama jujur dengan kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt. Tentu bisa komitmen dengan sifat ini dalam dakwah membutuhkan motivasi yang tinggi, tekad yang bulat serta keyakinan yang teguh. Diibaratkan oleh Ibnul Qayyim bahwa membawa sifat ini dalam kehidupan seperti mengangkat gunung yang tinggi. Tidak akan ada yang mampu mengangkatnya melainkan orang-orang yang kuat kemauan dan niatnya. Karena kejujuran yang sesungguhnya adalah kejujuran yang ditampilkan saat tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawa kita kecuali dengan berbohong.

Sebagai motivasi, perlu untuk senantiasa diingat balasan yang tinggi bagi orang-orang yang bisa jujur, “Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap-Nya[457]. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119). Dan sebaliknya akibat dan hukuman yang akan dikenakan terhadap orang-orang yang dusta dalam hidupnya. Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (Az-Zumar: 60) betapa kita mendambakan tampilkan aktivis dakwah yang bisa berpegang komit dengan kejujuran dan kebenaran dalam segala situasi dan kondisi apapun, sehingga dakwah ini akan lebih memberikan kebaikan dan keberkahan bagi umat Islam. Sudah saatnya memang kita merefleksi sejauhmana tingkat kejujuran kita dengan dakwah ini. Wallahu A’lam.

Ibnu Taymiyah

Taman rindang itu dipenuhi beraneka tanaman. Bunga-bunga mewangi, sementara buah ranum menyembul disela-sela dahannya yang rimbun. Disatu pojok, sebatang tunas tumbuh dan berkembang dengan segarnya. Batangnya kokoh, rantingnya dihiasi pucuk-pucuk daun lebat dengan akar terhujam kebumi. Tunas itu khas. Ia berada ditempat yang khas. Jika fajar menyingsing sinar mentari menerpa pucuk-pucuknya. Ketika siang menjelang ia dipayungi rimbunan dahan di sekitarnya. Dan saat petang beranjak, sang raja siangpun sempat menyapa selamat tinggal melalui sinarnya yang lembut. Sang tunas tumbuh dalam suasana hangat. Maka tak heran jika ia tumbuh dalam, berbuah lebat, berbatang kokoh dan berdahan rindang. Tunas itu adalah Taqiyyudin Ahmad bin Abdilhalim bin Taymiyyah.
Ia berasal dari keluarga taqwa. Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah. Seorang Syaikh, hakim, khatib, ‘alim dan wara’. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah Al-Harrani. Syaikhul Islam, Ulama fiqih, ahli hadits, tafsir, Ilmu Ushul dan hafidz.
Lahir di harran, 10 Rabiul Awwal 661 H di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam. Ketika berusia enam tahun, Taymiyyah kecil dibawa ayahnya ke Damaskus.
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru. Ilmu hitung, khat, Nahwu, Ushul fiqih merupakan bagian dari ilmu yang diperolehnya. Di usia belia ia telah mereguk limpahan ilmu utama dari manusia utama. Dan satu hal ia dikaruniai Allah Ta’ala kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda , ia telah hafal Al-qur’an.
Tak hanya itu, iapun mengimbangi ketamakannya menuntut ilmu dengan kebersihan hatinya. Ia amat suka menghadiri majelis-majelis mudzakarah (dzikir). Pada usia tujuh belas tahun kepekaannya terhadap dunia ilmu mulai kentara. Dan umur 19, ia telah memberi fatwa.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai rijalul Hadits (perawi hadits) dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu ‘ushul sambil mengomentari para filosof . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari’ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikul Ibnul Warid bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul.
Al-Washiti mengemukakan: “Demi Allah, syaikh kalian (Ibnu Taymiyyah) memiliki keagungan khuluqiyah, amaliyah, ilmiyah dan mampu menghadapi tantangan orang-orang yang menginjak-injak hak Allah dan kehormatanNya.”
Mujahid Dan Mujaddid
Dalam perjalanan hidupnya, beliau juga terjun ke masyarakat menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Ia tak mengambil sikap uzlah melihat merajalelanya kema’syiyatan dan kemungkaran. Suatu saat, dalam perjalanannya ke Damaskus, disebuah warung yang biasa jadi tempat berkumpulnya para pandai besi, ia melihat orang bermain catur. Ia langsung mendatangi tempat itu untuk mengambil papan catur dan membalikkannya. Mereka yang tengah bermain catur hanya termangu dan diam.
Beliau juga pernah mengobrak-abrik tempat pemabukkan dan pendukungnya. Bahkan, pernah pada suatu jum’at, Ibnu Taymiyyah dan pengikutnya memerangi penduduk yang tinggal digunung jurdu dan Kasrawan karena mereka sesat dan rusak aqidahnya akibat perlakuan tentara tar-tar yang pernah menghancurkan kota itu. Beliau kemudian menerangkan hakikat Islam pada mereka.
Tak hanya itu, beliau juga seorang mujahid yang menjadikan jihad sebagai jalan hidupnya. Katanya: “Jihad kami dalam hal ini adalah seperti jihad Qazan, jabaliah, Jahmiyah, Ittihadiyah dan lain-lain. Perang ini adalah sebagian nikmat besar yang dikaruniakan Allah Ta’ala pada kita dan manusia. Namun kebanyakan manusia tak banyak mengetahuinya.”
Tahun 700 H, Syam dikepung tentara tar-tar. Ia segera mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala kemungkinan yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat Alqur’an ia bangkitkan keberanian membela tanah air menghalau musuh. Kegigihannya itu membuat ia dipercaya untuk meminta bantusan sultan di Kairo. Dengan argumentasi yang matang dan tepat, ia mampu menggugah hati sultan. Ia kerahkan seluruh tentaranya menuju Syam sehingga akhirnya diperoleh kemenangan yang gemilang.
Pada Ramadhan 702 H, beliau terjun sendiri kemedan perang Syuquq yang menjadi pusat komando pasukan tar-tar. Bersama tentara Mesir, mereka semua maju bersama dibawah komando Sultan. Dengan semangat Allahu Akbar yang menggema mereka berhasil mengusir tentara tar-tar. Syuquq dapat dikuasai.
Pandangan Dan Jalan Fikiran
Pemikiran Ibnu Taymiyyah tak hanya merambah bidang syar’I, tapi juga mengupas masalah politik dan pemerintahan. Pemikiran beliau dalam bidang politik dapat dikaji dari bukunya Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah fi naqdh Kalam as-Syi’ah wal Qadariyah (Jalan Sunnah Nabi dalam pemyangkalan terhadap keyakinan kalangan Syi’ah dan Qadariyah), As-Siyasah as-Syar’iyah (Sistem Politik Syari’ah), Kitab al-Ikhriyaratul ‘Ilmiyah (Kitab aturan-aturan yuridis yang berdiri sendiri) dan Al-Hisbah fil Islam (Pengamat terhadap kesusilaan masyarakat dalam Islam)
Sebagai penganut aliran salaf, beliau hanya percaya pada syari’at dan aqidah serta dalil-dalilnya yang ditunjukkan oleh nash-nash. Karena nash tersebut merupakan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Aliran ini tak percaya pada metode logika rasional yang asing bagi Islam, karena metode semacam ini tidak terdapat pada masa sahabat maupun tabi’in. Baik dalam masalah Ushuludin, fiqih, Akhlaq dan lain-lain, selalu ia kembalikan pada Qur’an dan Hadits yang mutawatir. Bila hal itu tidak dijumpai maka ia bersandar pada pendapat para sahabat, meskipun ia seringkali memberikan dalil-dalilnya berdasarkan perkataan tabi’in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
Menurut Ibnu Taymiyyah, akal pikiran amatlah terbatas. Apalagi dalam menafsirkan Al-Qur’an maupun hadits. Ia meletakkan akal fikiran dibelakang nash-nash agama yang tak boleh berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan qur’an, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh hadits. Akal fikiran hanyalah saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil Al-Qur’an.
Bagi beliau tak ada pertentangan antara cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada pertentangan antara aqal dan pendengaran (sam’i) maka harus didahulukan dalil qath’i, baik ia merupakan dalil qath’i maupun sam’i.
Polemik Ibnu Taymiyah
Pribadi Ibnu Taymiyyah memiliki banyak sisi. Sebuah peran yang sering terlihat adalah kegiatannya menentang segala bid’ah, khurafat dan pandangan-pandangan yang menurutnya sesat. Tak heran jika ia banyak mendapat tantangan dari para ulama.
“Sesungguhnya saya lihat ahli-ahli bid’ah, orang-orang yang besar diombang-ambingkan hawa nafsu seperti kaum mufalsafah (ahli filsafat), Bathiniyah (pengikut kebathinan), Mulahadah (mereka yang keras menentang Allah) dan orang-orang yang menyatakan diri dengan wihdatul wujud (bersatunya hamba dengan khaliq), Dahriyah (mereka yang menyatakan segalanya waktu yang menentukan), Qadhariyah (manusia berkehendak dan berkuasa atas segala kemauannya), Nashiriyah, Jamhiyah, Hulliyah, mu’thilah, Mujassamah, Musyibihah, Rawandiyah, Kilabiyah, Salimiyah dan lain-lain yang terdiri atas orang-orang yang tenggelam dalam kesesatan, dan mereka yang telah tertarik masuk kedalamnya penuh sesat. Sebagian besar mereka bermaksud melenyapkan syari’at Muhammad yang suci, yang berada diatas segala agama. Para pemuka aliran sesat tersebut menyebabkan manusia berada dalam keraguan tentang dasar-dasar agama mereka. Sedikit sekali saya mendengan mereka menggunakan Al-qur’an dan hadits dengan sebenarnya. Mereka adalah orang-orang zindiq yang tak yakin dengan agama. Setelah saya melihat semua itu, jelaslah bagi saya bahwa wajib bagi setiap orang yang mampu untuk menentang kebathilan serta melemahkan hujjah-hujjah mereka, untuk mengerahkan tenaganya dalam menyingkap keburukkan-keburukkannya dan membatalkan dalil-dalilnya.” Demikian diantara beberapa pendapatnya yang mendapat tantangan dari mereka yang merasa dipojokkan dan disalahkan.
Tahun 705 H, kemampuan dan keampuhan Ibnu Taymiyyah diuji. Para Qadhi berkumpul bersama sultan di istana. Setelah melalui perdebatan yang sengit antara mereka, akhirnya jelah bahwa Ibnu Taymiyyah memegang aqidah sunniyah salafiyah. Banyak diantara mereka menyadari akan kebenaran Ibnu Taymiyyah.
Namun, upaya pendeskriditan terhadap pribadi Ibnu Taymiyyah terus berlangsung. Dalam sebuah pertemuan di Kairo beliau dituduh meresahkan masyarakat melalui pendapat-pendapatnya yang kontroversial. Sang qadhi yang telah terkena hasutan memutuskan Ibnu Taymiyyah bersalah. Beliau diputuskan tinggal dalam penjara selama satu tahun beberapa bulan.
Dalam perjalanan hidupnya, ia tak hanya sekali merasakan kehidupan penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta yang diputar balikkan, Sultan megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar ini ia berujar, “Saya menunggu hal itu. Disana ada masalah dan kebaikkan banyak sekali.”
Kehidupan dalam penjara ia manfaatkan untuk membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya tetap mengesankan kekuatan hujjah dan semangat serta pendapat beliau. Sikap itu malah mempersempit ruang gerak Ibnu Taymiyyah. Tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, semua buku, kertas, tinta dan pena-nya dirampas. Perampasan itu merupakan hantaman berat bagi Ibnu Taymiyyah. Setelah itu ia lebih banyak membaca ayat suci dan beribadah. Memperbanyak tahajjud hingga keyakinanya makin mantap.
Setelah menderita sakit selama dua puluh hari, beliau menghadap Rabbnya sesuai dengan cita-citanya: mati membela kebenaran dalam penjara.
Hari itu, tanggal 20 Dzulqaidah 728 H pasar-pasar di Damaskus sepi-sepi. Kehidupan berhenti sejenak. Para Emir, pemimpin, ulama dan fuqaha, tentara, laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil semuanya keluar rumah. Semua manusia turun kejalan mengantar jenazahnya.