Dalam kurun waktu yang hampir berurutan, dua pengembara sekaligus penulis sejarah mengunjungi Indonesia, mereka adalah Marco Polo dan Ibnu Batutah yang mendarat di ujung pulau Andalas. Keduanya memiliki reputasi yang sepadan dalam penulisan sejarah modern, serta dianggap sebagai penyumbang khasanah terbesar pada abad ke-13 bagi perkembangan ilmu pengetahuan melalui karya tulisan. Marco Polo, seorang musafir dari Venesia Italia (1254 – 1323 M) pada tahun 1292 M / 691 H berlabuh di pantai utara Sumatera. Dijumpainya sebagian besar penduduk disana masih menyembah berhala, tapi di daerah Peureula (Aceh) terdapat penduduk yang sudah memeluk agama Islam. Ada enam kerajaan yang sempat dilihatnya, Perlak, Samudera, Lamuzi, Pasai, Fansur atau Barus.
Raja Pasai yang beragama Islam bergelar Sultan Al Malikus Saleh, yang kemudian beristerikan puteri Raja Perlak, untuk mempersatukan kedua bandar tersebut. Pada waktu beliau wafat pada tahun 1927 M, digantikan oleh puteranya yang bernama Al Malikuz Zahir
Pada masa itulah seorang pengembara Muslim yang berasal dari Maghribi Maroko, bernama Ibnu Batutah mengunjungi tanah Pasai. Dalam catatan kisah perjalanannya, diceriterakan bahwa Raja sangatlah baik budinya, serta sangat memperhatikan nasib rakyatnya terutama para fakir miskin. Jika pergi hendak melaksanakan shalat Jum’at beliau senantiasa berjalan kaki.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”.
(Surat Al Jumu’ah ayat 9 – 10).
“Barang siapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at tanpa ada alasan maka Allah mengunci mati hatinya”.(HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa’i).
“Barang siapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi jinabat kemudian berangkat pada saat pertama, maka seolah-olah ia berkorban seekor unta.
Dan barang siapa yang berangkat pada saat kedua maka seolah-olah ia berkorban seekor sapi. Dan barang siapa berangkat pada saat ketiga maka seolah-olah ia berkorban seekor kambing. Dan barang siapa berangkat pada saat keempat maka seolah-olah ia berkorban seekor ayam betina. Dan barang siapa berangkat pada saat kelima maka seolah-olah ia berkorban sebutir telur. Kemudian bila imam telah keluar, maka datanglah para malaikat mendengarkan dzikir”.
(HR. Malik, Bukhari dan Muslim).
Setelah selesai shalat Jum’at, Sultan mengadakan acara keliling kota bersama para pembesar, para ulama dan pasukan pengawal. Ibnu Batutah pernah mendapat kesempatan ikut dalam rombongan Sultan yang diiringi nyanyian dan tarian.
Menurut para ahli sejarah, dari Pasailah agama Islam berkembang ke seluruh Nusantara. Para mubaligh yang menyebarkan ajaran Islam ke Jawa pada umumnya singgah dahulu dan bermukim di Pasai, bahkan sebagian memang berasal dari daerah ini.
Kisah Ibnu Batutah di Samudera Pasai
Sewaktu mengadakan perjalanan dari kepulauan Maladewa ke China, Ibnu Batutah singgah di kerajaan Samudera Pasai mendarat di kota pelabuhan yang besar dan ramai, terletak di muara sungai Pisangan yang indah. Dalam buku catatannya dia menulis:
Ketua pengawal laut naik menemui kami dan melihat kepada saudagar-saudagar, dan kemudian membenarkan kami turun ke daratan, maka kamipun ke bandar yaitu sebuah kampung yang besar di tepi pantai, letaknya dari ibu negeri ialah empat batu; kemudian Bahruz timbalan ketua pengawal-pengawal laut menulis memberitahu kepada Sultan tentang ketibaan saya, maka baginda memerintah Amir Dulsaih menemui saya, dan kadzi Al Syarif Amir Sayed Al Syirazi dan Tajuddin Al Asbihani, dan lain-lain dari ulama dan fuqaha; maka semuanya datang, dan mereka itu membawa kuda dan lainnya dari kereta kenaikan Sultan; maka saya dan semua sahabat-sahabatpun menunggang dan masuk ke dalam “Hadrat Al Sultan” yaitu sebuah bandar Samudra, sebuah bandar yang cantik dan besar ada pagar-pagar dari kayu; kemudia ia mensifatkan Sultan Al Malik Al Zahir, katanya: Sultan Al Malik Al Zahir, dari golongan raja-raja yang mulia dan bermurah hati, berpegang dengan mazhab Al Syafi’i, kasihan ulama-ulama yang datang ke majlisnya untuk membaca dan muzakarah; dan baginda banyak berjihad, sangat merendah diri, datang berjalan kaki untuk bersembahyang Jum’at; dan penduduk negerinya berpegang dengan mazhab Syafi’i dan suka berjihad, mereka itu keluar dengan suka rela bersama-samanya; mereka itu mendapat kemenangan di atas orang-orang kafir yang berhampiran, dan orang-orang kafir membayar jizyah kepadanya.
Setelah itu Ibnu Batutah menceriterakan perjumpaannya dengan Sultan Al Malik Al Zahir di biliknya dalam masjid, bagaimana beliau menaruh perhatian yang sangat besar pada permasalahan agama.
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah sw. bersabda:
“Ulama umat ini ada dua golongan. Seorang telah diberi Allah ilmu kemudian ia sebarkan kepada manusia, dan ia tidak mengambil (upah) karena tamak dan juga tidak menukar dengan harga. Maka kepada orang yang seperti itu ikan-ikan di lautan akan memintakan ampun kepadanya, demikian juga binatang-binatang darat dan burung di udara.
Dan seorang diberi Allah ilmu kemudian ia kikir untuk menyampaikannya kepada hamba-hamba Allah, dan mengambil (upah) karena tamak serta menukarnya dengan harga. Maka orang-orang yang demikian itu besok pada hari kiamat dikendalikan dengan kendali api neraka, dan akan tampil orang yang berseru: “Inilah orang yang telah dikaruniai Allah ilmu, lalu ia kikir dengan ilmu itu terhadap hamba-hambaNya dan mengambil (upah) dengan tamak dan menukarnya dengn harga, dan demikianlah sampai selesai hisab.” (HR. Thabrani).
Selanjutnya Ibnu Batutah menulis:
Pada hari yang keempat datang Amir Dulsaih dan berkata kepada saya: Tuan boleh bersama dengan Sultan di kamar masjid selepas sembahyang. Maka saya datang ke masjid dan bersembahyang Jum’at bersama dengan menterinya, kemudian saya masuk bertanya dengan Sultan dan memberi salam kepadanya dan baginda bersalam dengan saya, dan ia bertanya tentang Sultan Muhammad (Sultan Muhammad Taqhlaq Syah di Delhi, India 725 – 752 H / 1325 – 1351 M), dan juga tentang pelayaran saya, dan saya menjawab semua pertanyaannya dan kemudian kembali baginda bermuzakarah di dalam fiqih.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ’Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
(Surat Al Mujadilah ayat 11).
Catatan Ibnu Batutah selama mengikuti kesibukan Sultan Zahir mengurus negara, beribadah dan kegiatan ‘muzakarah’ yakni bertukar pikiran tentang masalah agama, juga tidak ketinggalan ditulisnya tentang pakaian dan hewan tunggangan yang dikendarai Sultan serta posisi para pembesar dan ulama dalam iring-iringan sebagai berikut,
Apabila selesai sembahyang Ashar, maka baginda masuk ke dalam rumah menyalin pakaian Fuqaha yang dipakainya masa datang ke masjid, dengan pakaian raja yaitu pakaian yang diperbuat dari sutera dan kapas. Apabila baginda keluar dari masjid didapat gajah-gajah kuda-kudanya sedang menunggu di pintu; menurut adat mereka itu apabila Sultan menunggang gajah maka semua orang-orang yang bersama-sama dengannya menunggang kuda, dan apabila baginda menunggang kuda maka mereka itu menunggang gajah, dan ulama disebelah kanannya.
Pada hari itu baginda Sultan menunggang gajah, dan kami sekalian menunggang kuda, dan kami terus berjalan bersama-samanya hingga sempat sampai ke dewan istana, dan kami sekalian turun di tempat yang biasa, kemudian Sultan tiba dengan keadaan menunggang kuda, dan para menteri, anak-anak raja, orang-orang besar negeri dan ketua-ketua tentara berdiri berbaris-baris.
Saf yang pertama adalah saf menteri-menteri dan penulis-penulis, menterinya empat orang; maka mereka itu memberi salam kepadanya kemudian kembali ketempat mereka itu berdiri.
Kemudian saf ulama; kemudian saf anak-anak raja. Mereka itu mengucap salam lalu kembali ke tempat mereka itu yang dahulu. Demikianlah dilakukan oleh tiap-tiap puak; mulai saf orang-orang ternama dan fuqaha, kemudian saf hukama dan penyair-penyair, seterusnya saf pelayan-pelayan istana dan hamba-hamba.
Sultan berdiri diatas gajahnya menghadap kubah tempat duduk, dan diatas kepalanya disediakan payung yang ditatah dengan permata, dan disebelah kanan berbaris lima puluh ekor gajah yang dihiasi, begitu juga disebelah kirinya, dan dihadapannya berdiri pengawal- pengawal pilihan.
Sungguh sangat heran saya melihatnya, dan saya menyaksikan kenyataan tersebut di hadapan raja India. Apabila hampir terbenam matahari Sultanpun masuk ke dalam istananya, dan para peserta upacara semuanya kembali ke rumah masing-masing.
(Ibn Batutah: Pelayaran Ibn Batutah).
Bagaimana pendapat orang lain tentang diri Sultan Al Malik Al Zahir. Seorang ahli sejarah Barat bernama T.W. Arnold menuturkan sebagai berikut,
“Raja ini telah menunjukkan setinggi-tinggi dan sebesar-besar sifat kebesaran kerajaan Islam, dan negeri pemerintahannya terbentang jauh beberapa hari perjalanan di sepanjang pantai, dan baginda adalah seorang muslim yang berpegang dengan mazhab ahlissunnah, sangat cemburu (peduli) kepada agamanya, amat gemar mengadakan majelis-majelis perbincangan dengan fuqaha (ulama fekah) dan ulama-ulama istananya tempat tumpuan penyair-penyair dan orang-orang yang berilmu, dan disamping ini Al Malik Al Zahir adalah seorang pemimpin perang yang agung, dan baginda telah mengisytihar perang diatas penyembahan berhala, yang tinggal berjiran dengan negerinya sehingga mereka itu tunduk kepada pemerintahannya dan membayar jizyah kepadanya.”
(T.W. Arnold: Dakwah kepada Islam – terjemahan Dr. Hasan Ibrahim).
Mengembara Antara Dua Musim Haji
Pengembaraan Ibnu Batutah dilaksanakan antara musim haji yang satu ke musim haji berikutnya. Dia menjadikan Makkah Al Mukaramah sebagai awal berlayar dan sebagai tempat kembali berlabuh. Sungguh suatu pengembaraan yang penuh kejadian penting dalam sejarah, sarat dengan makna dan hikmah, perjalanan pengembaraan antara ibadah-ibadah.
Ibnu Batutah bukan pengembara biasa, dia dilahirkan dari keluarga yang taat beragama dan dibesarkan di lingkungan ulama-ulama fiqih di daerah Tanjah Maroko. Ilmu fiqih dipelajarinya dari beberapa ulama yang sebagian besar menjabat sebagai hakim atau kadi.
Disamping menguasai hukum-hukum Islam, Syamsuddin Ibnu Batutah memperluas wawasannya dengan sastera dan sya’ir Arab, hingga tidak mengherankan kalau dia mampu melukiskan peristiwa-peristiwa yang dilihatnya dengan gaya bahasa yang hidup dan menarik. Ombak besar yang menggulung, badai yang menghempas kapal, bunyi tiang layar yng berderit-derit menahan angin kencang, kegaduhan penumpang dan kesibukan kapten kapal, hingga keramaian bandar pelabuhan yang diseling bunyi burung camar, semuanya mengalir dari kalam ke atas kertas putih yang agak kumal.
Dalam perjumpaan dengan banyak orang, Ibnu Batutah senantiasa berusaha meningkatkan kualitas silaturahmi dengan mendekati orang-orang yang bisa diajak bermuzakarah serta berbagi ilmu dan pengalaman.
“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak misik (harum) dan orang yang meniup bara api pandai besi. Orang yang membawa minyak misik mungkin akan memberikannya kepadamu, atau engkau akan membelinya atau engkau merasakan bau harum daripadanya.
Adapun peniup bara api pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu, atau engkau akan merasakan bau yang busuk daripadanya”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Tempat-tempat yang disinggahi diceriterakannya secara lengkap dengan bahasa yang indah, sehingga siapa yang membaca tulisan Ibnu Batutah atau mendengarkannya berhasrat untuk mengunjunginya.
Kemauannya yang kuat untuk mengunjungi wilayah-wilayah Islam saat itu membawanya mengembara dari Afrika Utara ke Timur Tengah, dari Persia ke India terus ke Asia Tenggara, dilanjutkan ke arah Timur Laut menuju daratan China dan kearah Barat hingga sampai ke Spanyol.
Penjelajahan besar ini menghabiskan waktu tidak kurang dari 25 tahun, yang menghasilkan karya tulisan sejarah perkembangan Islam terpenting, dengan judul: Tuffah an-Nuzzar fi Gara’ib al Amsar wa ‘Aja’ib al Asfar yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, Jerman dan Inggris.
Pada usia muda 22 tahun, Ibnu Batutah berangkat dari kampungnya di Tanjah Maroko untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Makkah dan dilanjutkan berziarah ke makam Rasulullah saw. dan shalat Arbain di masjid Nabawi, Madinah.
Dalam kitab suci Al Qur’an surat Al Maidah ayat 97, Allah swt. berfirman:
“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci untuk menegakkan (kepentingan dan peribadatan) bagi manusia, dan bulan suci, dan binatang korban, dan yang diberi kalung; demikian itu agar kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi, dan bahwasanya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Bagi pemuda seusia Ibnu Batutah, pengalaman menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya memberikan kesan dan kenangan yang mendalam. Sebagai orang yang memberikan apresiasi tinggi pada keindahan hidup, suasana di Masjidil Haram membawanya sujud berlama-lama di depan Ka’bah, terasa betapa besar keagungan Allah swt. menerima kedatangan hamba-hambaNya.
Suara do’a dan talbiyah serta gerak jamaah haji melaksanakan Thawaf mengitari Ka’bah terlukis sebagai opera kolosal yang anggun dan besar, dengan latar belakang manusia yang ruku’ dan sujud di ruangan Masjidil Haram yang besar dan terbuka mengitari halaman Ka’bah. Sementara di sisi lain membentang jalan dari bukit Shafa ke bukit Marwah, dimana jamaah berjalan cepat setengah berlari mencapai ujung kedua bukit dengan membaca do’a-do’a Sya’i, sambil mengenang perjuangan seorang ibu bernama Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim a.s. yang berusaha mendapatkan seteguk air pelepas dahaga puteranya Ismail a.s.
Puncak ibadah dirasakannya waktu wukuf diArafah, dimana seakan-akan terdengar firman Allah swt. dari balik awan, membelah langit, membanggakan kehadiran hamba-hambaNya di padang pasir yang luas dan udaranya sangat panas kepada para Malaikat dan seluruh penghuni langit.
“Sesungguhnya Allah menunjukkan kemegahanNya atas orang-orang yang sedang berada di Arafah kepada penghuni langit, seraya berfirman:
‘Lihatlah hamba-hambaKu, mereka datang dengan kepala kusut dan penuh debu”.
(HR. Ahmad dan Hakim).
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Ibnu Batutah melakukan pengembaraan pertama ke Iraq, dimana dia menemui tokoh penguasa dan ulama di kota Mosul dibagian utara negeri ini dan mengunjungi tempat-tempat yang mempunyai nilai religius dan historis seperti masjid, istana-istana, madrasah dan makam para ulama. Iraq memiliki dataran tinggi yang kering dengan padang rumput yang berbukit-bukit diantara sungai Tigris dan Eufrat dan dataran rendah dekat Samarra yang subur dan padat penduduknya. Di Sammara terdapat reruntuhan Masjid Agung yang dibangun pada masa Khalifah Al Mutawakkil (847 – 861 M), sementara Mausoleum Abbas bin Ali bin Abi Thalib terdapat di Karbala, sedangkan Mausoleum Syekh Abdul Qadir Al Jaelani berada di kota Baghdad, yang didirikan pada abad ke-13.
Sesudah dari Iraq dan mengunjungi negeri-negeri Ajam, Ibnu Batutah berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya seorang hamba telah Aku berikan kesehatan pada tubuhnya dan Aku berikan kelapangan kepadanya dalam kehidupan, (kemudian) telah lewat padanya lima tahun tetapi ia tidak datang kepadaKu (melakukan ibadah haji), maka ia pasti
tidak akan mendapatkan kebajikan”.(HR. Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Seusai ibadah haji ia melanjutkan perjalanan ke Mesir, Syam, Turki, Uzbekistan, Afghanistan terus ke India. Disini dia menetap cukup lama dan dipercaya oleh Sultan Muhammad bin Tugluq (1325 – 1351 M) untuk menduduki jabatan sebagai kadi di Delhi. Oleh Sultan dia diutus ke negeri China untuk satu misi kenegaraan, dimana dia sempat tinggal cukup lama di kepulauan Maladewa dan singgah beberapa hari di Samudera Pasai, di ujung kepulauan Nusantara.
Pada musim haji berikutnya, Ibnu Batutah tidak melewatkan kesempatan untuk ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Beberapa tahun kemudian ia pergi ke Granada, Spanyol sebagai bagian penutup pengembaraannya. Dan untuk selanjutnya penulis sejarah Islam terbesar ini, menghabiskan masa tuanya di negeri kelahirannya Maroko yang diisi dengan kesibukan yang bermanfaat bagi diri dan ummat, dia terus menulis, memperbanyak ibadah, terus mendekatkan diri bertaqarrub dengan memperbanyak dzikrullah, hingga Allah swt. memanggilnya pulang ke kampung akhir pengembaraan, pada tahun 779 H / 1377 M saat berusia 73 tahun.
Selasa, 09 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar