Selasa, 09 Maret 2010

Akhwat itu ...

Telah lima tahun kuinjakan kaki di kantor ini. Banyak pembelajaran & pengalaman baru bagi seorang asli kampung sepertiku. Kehidupan kantor ini memang sangat jauh berbeda dengan kehidupan keseharianku sebelumnya di rumah. Di kantor inilah aku mengetahui perlunya beli baju yang baru dan bagus untuk bekerja, bagaimana cara menghilangkan bau badan, bagaimana cara menggunakan dasi, bagaimana itu bekerjasama dalam sebuah organisasi perkantoran, bagaimana menggunakan komputer, bagaimana suasana rapat rutin bagian dstnya.
Telah lima tahun pula kurasakan ada sesuatu memori sangat indah yang makin lama makin hilang. Sebelum masuk kantor ini selama hampir empat tahun kurasakan kehidupan ini begitu berkah. Dari bangun pada waktu dinihari di kala orang lain masih terlelap, aktifitas di pagi hari hingga kembali tidur di malam hari. Sungguh masih terasa sangat indah sholat malam di masjid kampungku. Suasana yang sangat sepi, hawa yang begitu dingin dengan diiringi suara serangga di pagi buta adalah sangat sangat indah. Menyalakan tape pembacaan ayat suci Al-Qur’an setengah jam sebelum adzan Subuh adalah sangat indah. Berdzikir dan berdo’a sambil menunggu waktu shubuh di masjid adalah sangat indah. Mengumandangkan adzan shubuh adalah memori yang sangat indah. Melaksanakan Sholat Fajr yang pahalanya besar itu sungguh indah. Membaca Qur’an habis berdzikir & berdo’a ba’dha Shubuh adalah sangat indah. Ya suasana pembuka kehidupan selalu kulalui dengan sangat indahnya.
Siang hari kuhabiskan waktuku di sekolah seperti umumnya pelajar. Menjelang sore kembali kehidupan yang serba indah itu menghampiriku. Membaca Qur’an seperempat jam sebelum adzan maghrib di masjid dengan diiringi suara gembira anak-anak TPA. Mengumandangkan adzan Maghrib dengan penuh cinta kpd Allah. Ba’dha maghrib hingga Isya’ adalah masa yang sangat emas bagiku. Di masjid inilah setiap hari di waktu tersebut kusibukkan diriku dengan mengajar TPA. Anak-anak kampungku memang sangat bersemangat belajar di TPA ini. 40 – 60 anak adalah jumlah yang sangat banyak untuk ukuran kampungku yang kecil. Sangat indah menceritakan kehidupan para nabi & rasul kpd mereka, sangat indah mengajarkan iqro’ & al-qur’an kpd mereka. Ba’dha Isya’ bahkan ada beberapa anak yang bahkan minta tambahan materi keislaman.
Sesuatu hal yang beda adalah bahwa para pengajar di TPA kami semuanya adalah laki-laki. Istilah Akhwat atau aktifis wanita bagiku baru kudapatkan kisahnya di majalah Annida. Belum ada seorang wanita akhwat pun yang ku kenal langsung hingga usiaku mendekati 20. Tanpa adanya figur akhwat sbg contoh di daerah kami terkadang kasihan juga adik-adik perempuan yang sudah mulai menginjak usia akil balikh. Perkembangan dan pembinaan mereka menjadi tidak terarah. Berbagai usaha telah kami upayakan untuk mendatangkannya sekali waktu melalui berbagai silaturahim dengan TPA lain. Akan tetapi bagi orang udik seperti kami memang berat dan susah bahkan hingga saatnya aku harus meninggalkan kampung tercinta ini.
Di usiaku yang 20 kumulai kehidupan & suasana yang begitu baru. Aku optimis hidup di kota ini karena yang kutahu Surabaya dikelilingi oleh kota-kota santri yang kuyakin dengan mudah aku bisa belajar lebih dalam lagi terkait keislaman ini pada para kiai disana. 2 tahun pertama ternyata waktuku benar-benar banyak terkuras untuk belajar bekerja. Faktor teman yang semuanya baru memang sangat berpengaruh utamanya dalam prioritas dan memilih alternatif kegiatan. Benturan kebiasaan kami menghasilkan berbagai kegiatan kompromi diantara kami. Perlahan namun pasti hidupku mulai menjauh dari kegiatan di masjid. Teman baru memang banyak namun tidak ada yang mau diajak wira-wiri ke masjid untuk sekedar sholat 5 waktu apalagi mengikuti berbagai kajian keislaman. Kehidupanku mulai terasa hampa hingga akhirnya pada saat usia 22 kuputuskan aku harus menikah. Aku yakin menjalani kehidupan ini dua orang jauh lebih baik dibanding sendirian. Problem & pertanyaan besar mengusik diri ini, dengan siapa aku menikah ? Sejujurnya aku punya cita-cita besar untuk mewujudkan sebuah rumah tangga yang berkah dan sakinah. Aku ingin punya anak-anak yang jauh lebih bagus & baik keislamannya daripada aku maka sudah seharusnyalah ibunya anak-anak adalah seorang wanita yang mampu mendukung & mengimplementasikan cita-citaku itu.
Aku kembali mencoba merenung dalam kesederhanaan hidup ini terkait figur wanita yang kuidamkan. Sejujurnya di usia 22 ini aku masih sangat buta & minim pengetahuan terhadap wanita. Berpikir tentang bagaimana mengenal dan cara untuk menikah seringkali membuatku benar-benar menangis. Sering sekali sehabis pulang kerja kuhabiskan waktuku untuk beri’tikaf mulai maghrib sampai dengan jam 20 an di masjid, memohon kepada Allah untuk dimudahkan dalam proses mendapatkan jodoh ini. Sering aku berdo’a untuk calon istriku nanti semoga dia benar-benar sosok yang sesuai dengan yang aku dambakan.
Dalam kondisi itulah rasa penasaranku terhadap istilah akhwat kembali mengemuka. Dalam berbagai kisah & cerita dapat aku ambil kesimpulan bahwa akhwat itu pasti anaknya pak kiai ataupun para mahasiswi sebuah kampus yang berjilbab. Terlalu jauh bagiku mendambakan anak seorang pak kiai jika melihat historis kehidupanku yang memang awam. Pada akhirnya kuarahkan bidikanku ke kampus.
Pagi itu aku jalan sendiri ke pasar karang menjangan. Pasar itu dekat dengan UNAIR, dan aku yakin akan ada beberapa akhwat kampus belanja di pagi itu. Aku ingin bertaaruf dengan mereka meski hanya untuk mengenal bagaimana sebenarnya baju yang mereka pakai. Bagiku sangat indah dan membahagiakan melihat ada beberapa akhwat seperti mereka yang tetap eksis dan istiqomah dalam balutan busana islami. Dari beberapa kali pengamatan jarak jauh dapat aku simpulkan bahwa akhwat yang bagus menurutku bisa dinilai dari bajunya, yaitu yang jilbabnya panjang, busananya longgar dan harus memakai kaus kaki yang panjang.
Kembali problem besar bagiku adalah bagaimana untuk taaruf lebih lanjut karena bagaimanapun aku tidak mengenal mereka dan tidak punya channel kepada mereka. Akhwat bagiku adalah seorang makhluk dengan rahasia dan misteri yang sangat besar dan kuanggap adalah ujian yang paling besar dan berat dari Allah. Berpikir tentangnya benar-benar menguras pikiran dan tenagaku, hingga akhirnya aku putuskan pulang kampung dan bersilaturahim dengan ustadzku dan minta bantuannya untuk segera dinikahkan. Aku berpendapat terlalu mikir akhwat malahan nggak nikah-nikah.
Ustadz di kampung sempat terhenyak melihat keberanianku di usia 22 itu yang kelihatan sangat kebelet untuk nikah. Sebulan kemudian ustadz memberitahuku untuk segera pulang kampung karena akan ditaarufkan dengan seorang akhwat.
Istilah taaruf adalah istilah yang masih sangat asing bagiku. Berpikir tentang taaruf itu apa ternyata membuat hatiku bergetar hebat dan perasaan was-was tak terkira. Bayangan seorang akhwat dengan akhlak sangat bagus benar-benar menghantui aku. Tanpa sadar nyaliku menjadi ciut kembali melihat keadaanku sekarang ini. Semakin merenung ternyata makin banyak hal yang membuat aku tidak percaya pada diri sendiri. Telah lebih dari 2 tahun aku kosong dari kegiatan di masjid, baik sebagai remas, pengajar TPA ataupun takmir masjid. Menurut sedikit info akhwat tsb adalah seorang aktivis masjid yang hoby mengurus TPA, juga sudah lama ikut kajian rutin yang namanya liqo’. Aku menjadi semakin yakin bahwa aku tidak mungkin sekufu dengan akhwat tersebut. Aku juga tidak yakin akan dapat membahagiakan akhwat tersebut. Kekurangan dan kelemahan makin banyak kutemukan pada diri ini. Tekadku untuk nantinya berjuang mati-matian membahagiakan calon istriku nanti justru menjadi beban yang amat berat bagiku, apakah pada saat ini aku mampu melakukan itu. Dalam berbagai do’a dan upaya malah semakin membuatku bimbang. Aku ditimpa penyakit ketakutan pada diri sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk menunda taaruf itu.
Mulai usia 22 ini aku terus mencoba meningkatkan intensitas ibadahku kepada Allah, sholat malam, sholat dhuha, sholat rowatib, puasa senin dan kamis kuupayakan kujaga terus agar segera diberi kekuatan untuk percaya diri menikah. Kuisi waktuku dengan kuliah dan mengikuti berbagai kajian keislaman untuk menambah bekal diriku.
Tak terasa usiaku kini sudah 25 tahun dan yang namanya akhwat itu masih sama definisinya bagiku adalah merupakan sesosok makhluk penuh misteri dan rahasia dalam hidupku.
Wahai akhwat sejati ... apakah jumlahmu cuma sangat sedikit sehingga aku susah menemukanmu ? Apakah derajatmu begitu tinggi sehingga hatiku selalu bergetar untuk mendekatimu ? Aktifitas kebaikan apa saja yang telah engkau lakukan yang bisa aku contoh dan implementasikan dalam kehidupanku sehingga aku bisa sekufu denganmu ? Proses menuju nikah mana yang mampu membuat pernikahan itu berkah ?
Ya Allah bimbinglah hamba-Mu yang semakin lemah dihadapan-Mu ini untuk menggapai mimpi hamba, mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah dan berkah serta dikaruniai anak-anak sholeh/sholihah, cerdas, bermental baja, pandai bersyukur, pandai menjaga diri sehingga dapat menjadi kader dakwah masa depan. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar