Selasa, 09 Maret 2010

Melintas Jalan Pengembaraan Ibnu Batutah

Dalam kurun waktu yang hampir berurutan, dua pengembara sekaligus penulis sejarah mengunjungi Indonesia, mereka adalah Marco Polo dan Ibnu Batutah yang mendarat di ujung pulau Andalas. Keduanya memiliki reputasi yang sepadan dalam penulisan sejarah modern, serta dianggap sebagai penyumbang khasanah terbesar pada abad ke-13 bagi perkembangan ilmu pengetahuan melalui karya tulisan. Marco Polo, seorang musafir dari Venesia Italia (1254 – 1323 M) pada tahun 1292 M / 691 H berlabuh di pantai utara Sumatera. Dijumpainya sebagian besar penduduk disana masih menyembah berhala, tapi di daerah Peureula (Aceh) terdapat penduduk yang sudah memeluk agama Islam. Ada enam kerajaan yang sempat dilihatnya, Perlak, Samudera, Lamuzi, Pasai, Fansur atau Barus.
Raja Pasai yang beragama Islam bergelar Sultan Al Malikus Saleh, yang kemudian beristerikan puteri Raja Perlak, untuk mempersatukan kedua bandar tersebut. Pada waktu beliau wafat pada tahun 1927 M, digantikan oleh puteranya yang bernama Al Malikuz Zahir
Pada masa itulah seorang pengembara Muslim yang berasal dari Maghribi Maroko, bernama Ibnu Batutah mengunjungi tanah Pasai. Dalam catatan kisah perjalanannya, diceriterakan bahwa Raja sangatlah baik budinya, serta sangat memperhatikan nasib rakyatnya terutama para fakir miskin. Jika pergi hendak melaksanakan shalat Jum’at beliau senantiasa berjalan kaki.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”.
(Surat Al Jumu’ah ayat 9 – 10).
“Barang siapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at tanpa ada alasan maka Allah mengunci mati hatinya”.(HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa’i).
“Barang siapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi jinabat kemudian berangkat pada saat pertama, maka seolah-olah ia berkorban seekor unta.
Dan barang siapa yang berangkat pada saat kedua maka seolah-olah ia berkorban seekor sapi. Dan barang siapa berangkat pada saat ketiga maka seolah-olah ia berkorban seekor kambing. Dan barang siapa berangkat pada saat keempat maka seolah-olah ia berkorban seekor ayam betina. Dan barang siapa berangkat pada saat kelima maka seolah-olah ia berkorban sebutir telur. Kemudian bila imam telah keluar, maka datanglah para malaikat mendengarkan dzikir”.
(HR. Malik, Bukhari dan Muslim).
Setelah selesai shalat Jum’at, Sultan mengadakan acara keliling kota bersama para pembesar, para ulama dan pasukan pengawal. Ibnu Batutah pernah mendapat kesempatan ikut dalam rombongan Sultan yang diiringi nyanyian dan tarian.
Menurut para ahli sejarah, dari Pasailah agama Islam berkembang ke seluruh Nusantara. Para mubaligh yang menyebarkan ajaran Islam ke Jawa pada umumnya singgah dahulu dan bermukim di Pasai, bahkan sebagian memang berasal dari daerah ini.

Kisah Ibnu Batutah di Samudera Pasai
Sewaktu mengadakan perjalanan dari kepulauan Maladewa ke China, Ibnu Batutah singgah di kerajaan Samudera Pasai mendarat di kota pelabuhan yang besar dan ramai, terletak di muara sungai Pisangan yang indah. Dalam buku catatannya dia menulis:
Ketua pengawal laut naik menemui kami dan melihat kepada saudagar-saudagar, dan kemudian membenarkan kami turun ke daratan, maka kamipun ke bandar yaitu sebuah kampung yang besar di tepi pantai, letaknya dari ibu negeri ialah empat batu; kemudian Bahruz timbalan ketua pengawal-pengawal laut menulis memberitahu kepada Sultan tentang ketibaan saya, maka baginda memerintah Amir Dulsaih menemui saya, dan kadzi Al Syarif Amir Sayed Al Syirazi dan Tajuddin Al Asbihani, dan lain-lain dari ulama dan fuqaha; maka semuanya datang, dan mereka itu membawa kuda dan lainnya dari kereta kenaikan Sultan; maka saya dan semua sahabat-sahabatpun menunggang dan masuk ke dalam “Hadrat Al Sultan” yaitu sebuah bandar Samudra, sebuah bandar yang cantik dan besar ada pagar-pagar dari kayu; kemudia ia mensifatkan Sultan Al Malik Al Zahir, katanya: Sultan Al Malik Al Zahir, dari golongan raja-raja yang mulia dan bermurah hati, berpegang dengan mazhab Al Syafi’i, kasihan ulama-ulama yang datang ke majlisnya untuk membaca dan muzakarah; dan baginda banyak berjihad, sangat merendah diri, datang berjalan kaki untuk bersembahyang Jum’at; dan penduduk negerinya berpegang dengan mazhab Syafi’i dan suka berjihad, mereka itu keluar dengan suka rela bersama-samanya; mereka itu mendapat kemenangan di atas orang-orang kafir yang berhampiran, dan orang-orang kafir membayar jizyah kepadanya.
Setelah itu Ibnu Batutah menceriterakan perjumpaannya dengan Sultan Al Malik Al Zahir di biliknya dalam masjid, bagaimana beliau menaruh perhatian yang sangat besar pada permasalahan agama.
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah sw. bersabda:
“Ulama umat ini ada dua golongan. Seorang telah diberi Allah ilmu kemudian ia sebarkan kepada manusia, dan ia tidak mengambil (upah) karena tamak dan juga tidak menukar dengan harga. Maka kepada orang yang seperti itu ikan-ikan di lautan akan memintakan ampun kepadanya, demikian juga binatang-binatang darat dan burung di udara.
Dan seorang diberi Allah ilmu kemudian ia kikir untuk menyampaikannya kepada hamba-hamba Allah, dan mengambil (upah) karena tamak serta menukarnya dengan harga. Maka orang-orang yang demikian itu besok pada hari kiamat dikendalikan dengan kendali api neraka, dan akan tampil orang yang berseru: “Inilah orang yang telah dikaruniai Allah ilmu, lalu ia kikir dengan ilmu itu terhadap hamba-hambaNya dan mengambil (upah) dengan tamak dan menukarnya dengn harga, dan demikianlah sampai selesai hisab.” (HR. Thabrani).
Selanjutnya Ibnu Batutah menulis:
Pada hari yang keempat datang Amir Dulsaih dan berkata kepada saya: Tuan boleh bersama dengan Sultan di kamar masjid selepas sembahyang. Maka saya datang ke masjid dan bersembahyang Jum’at bersama dengan menterinya, kemudian saya masuk bertanya dengan Sultan dan memberi salam kepadanya dan baginda bersalam dengan saya, dan ia bertanya tentang Sultan Muhammad (Sultan Muhammad Taqhlaq Syah di Delhi, India 725 – 752 H / 1325 – 1351 M), dan juga tentang pelayaran saya, dan saya menjawab semua pertanyaannya dan kemudian kembali baginda bermuzakarah di dalam fiqih.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ’Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
(Surat Al Mujadilah ayat 11).
Catatan Ibnu Batutah selama mengikuti kesibukan Sultan Zahir mengurus negara, beribadah dan kegiatan ‘muzakarah’ yakni bertukar pikiran tentang masalah agama, juga tidak ketinggalan ditulisnya tentang pakaian dan hewan tunggangan yang dikendarai Sultan serta posisi para pembesar dan ulama dalam iring-iringan sebagai berikut,
Apabila selesai sembahyang Ashar, maka baginda masuk ke dalam rumah menyalin pakaian Fuqaha yang dipakainya masa datang ke masjid, dengan pakaian raja yaitu pakaian yang diperbuat dari sutera dan kapas. Apabila baginda keluar dari masjid didapat gajah-gajah kuda-kudanya sedang menunggu di pintu; menurut adat mereka itu apabila Sultan menunggang gajah maka semua orang-orang yang bersama-sama dengannya menunggang kuda, dan apabila baginda menunggang kuda maka mereka itu menunggang gajah, dan ulama disebelah kanannya.

Pada hari itu baginda Sultan menunggang gajah, dan kami sekalian menunggang kuda, dan kami terus berjalan bersama-samanya hingga sempat sampai ke dewan istana, dan kami sekalian turun di tempat yang biasa, kemudian Sultan tiba dengan keadaan menunggang kuda, dan para menteri, anak-anak raja, orang-orang besar negeri dan ketua-ketua tentara berdiri berbaris-baris.
Saf yang pertama adalah saf menteri-menteri dan penulis-penulis, menterinya empat orang; maka mereka itu memberi salam kepadanya kemudian kembali ketempat mereka itu berdiri.
Kemudian saf ulama; kemudian saf anak-anak raja. Mereka itu mengucap salam lalu kembali ke tempat mereka itu yang dahulu. Demikianlah dilakukan oleh tiap-tiap puak; mulai saf orang-orang ternama dan fuqaha, kemudian saf hukama dan penyair-penyair, seterusnya saf pelayan-pelayan istana dan hamba-hamba.
Sultan berdiri diatas gajahnya menghadap kubah tempat duduk, dan diatas kepalanya disediakan payung yang ditatah dengan permata, dan disebelah kanan berbaris lima puluh ekor gajah yang dihiasi, begitu juga disebelah kirinya, dan dihadapannya berdiri pengawal- pengawal pilihan.
Sungguh sangat heran saya melihatnya, dan saya menyaksikan kenyataan tersebut di hadapan raja India. Apabila hampir terbenam matahari Sultanpun masuk ke dalam istananya, dan para peserta upacara semuanya kembali ke rumah masing-masing.
(Ibn Batutah: Pelayaran Ibn Batutah).
Bagaimana pendapat orang lain tentang diri Sultan Al Malik Al Zahir. Seorang ahli sejarah Barat bernama T.W. Arnold menuturkan sebagai berikut,
“Raja ini telah menunjukkan setinggi-tinggi dan sebesar-besar sifat kebesaran kerajaan Islam, dan negeri pemerintahannya terbentang jauh beberapa hari perjalanan di sepanjang pantai, dan baginda adalah seorang muslim yang berpegang dengan mazhab ahlissunnah, sangat cemburu (peduli) kepada agamanya, amat gemar mengadakan majelis-majelis perbincangan dengan fuqaha (ulama fekah) dan ulama-ulama istananya tempat tumpuan penyair-penyair dan orang-orang yang berilmu, dan disamping ini Al Malik Al Zahir adalah seorang pemimpin perang yang agung, dan baginda telah mengisytihar perang diatas penyembahan berhala, yang tinggal berjiran dengan negerinya sehingga mereka itu tunduk kepada pemerintahannya dan membayar jizyah kepadanya.”
(T.W. Arnold: Dakwah kepada Islam – terjemahan Dr. Hasan Ibrahim).

Mengembara Antara Dua Musim Haji

Pengembaraan Ibnu Batutah dilaksanakan antara musim haji yang satu ke musim haji berikutnya. Dia menjadikan Makkah Al Mukaramah sebagai awal berlayar dan sebagai tempat kembali berlabuh. Sungguh suatu pengembaraan yang penuh kejadian penting dalam sejarah, sarat dengan makna dan hikmah, perjalanan pengembaraan antara ibadah-ibadah.
Ibnu Batutah bukan pengembara biasa, dia dilahirkan dari keluarga yang taat beragama dan dibesarkan di lingkungan ulama-ulama fiqih di daerah Tanjah Maroko. Ilmu fiqih dipelajarinya dari beberapa ulama yang sebagian besar menjabat sebagai hakim atau kadi.
Disamping menguasai hukum-hukum Islam, Syamsuddin Ibnu Batutah memperluas wawasannya dengan sastera dan sya’ir Arab, hingga tidak mengherankan kalau dia mampu melukiskan peristiwa-peristiwa yang dilihatnya dengan gaya bahasa yang hidup dan menarik. Ombak besar yang menggulung, badai yang menghempas kapal, bunyi tiang layar yng berderit-derit menahan angin kencang, kegaduhan penumpang dan kesibukan kapten kapal, hingga keramaian bandar pelabuhan yang diseling bunyi burung camar, semuanya mengalir dari kalam ke atas kertas putih yang agak kumal.
Dalam perjumpaan dengan banyak orang, Ibnu Batutah senantiasa berusaha meningkatkan kualitas silaturahmi dengan mendekati orang-orang yang bisa diajak bermuzakarah serta berbagi ilmu dan pengalaman.
“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak misik (harum) dan orang yang meniup bara api pandai besi. Orang yang membawa minyak misik mungkin akan memberikannya kepadamu, atau engkau akan membelinya atau engkau merasakan bau harum daripadanya.
Adapun peniup bara api pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu, atau engkau akan merasakan bau yang busuk daripadanya”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Tempat-tempat yang disinggahi diceriterakannya secara lengkap dengan bahasa yang indah, sehingga siapa yang membaca tulisan Ibnu Batutah atau mendengarkannya berhasrat untuk mengunjunginya.
Kemauannya yang kuat untuk mengunjungi wilayah-wilayah Islam saat itu membawanya mengembara dari Afrika Utara ke Timur Tengah, dari Persia ke India terus ke Asia Tenggara, dilanjutkan ke arah Timur Laut menuju daratan China dan kearah Barat hingga sampai ke Spanyol.
Penjelajahan besar ini menghabiskan waktu tidak kurang dari 25 tahun, yang menghasilkan karya tulisan sejarah perkembangan Islam terpenting, dengan judul: Tuffah an-Nuzzar fi Gara’ib al Amsar wa ‘Aja’ib al Asfar yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, Jerman dan Inggris.
Pada usia muda 22 tahun, Ibnu Batutah berangkat dari kampungnya di Tanjah Maroko untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Makkah dan dilanjutkan berziarah ke makam Rasulullah saw. dan shalat Arbain di masjid Nabawi, Madinah.
Dalam kitab suci Al Qur’an surat Al Maidah ayat 97, Allah swt. berfirman:
“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci untuk menegakkan (kepentingan dan peribadatan) bagi manusia, dan bulan suci, dan binatang korban, dan yang diberi kalung; demikian itu agar kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi, dan bahwasanya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Bagi pemuda seusia Ibnu Batutah, pengalaman menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya memberikan kesan dan kenangan yang mendalam. Sebagai orang yang memberikan apresiasi tinggi pada keindahan hidup, suasana di Masjidil Haram membawanya sujud berlama-lama di depan Ka’bah, terasa betapa besar keagungan Allah swt. menerima kedatangan hamba-hambaNya.
Suara do’a dan talbiyah serta gerak jamaah haji melaksanakan Thawaf mengitari Ka’bah terlukis sebagai opera kolosal yang anggun dan besar, dengan latar belakang manusia yang ruku’ dan sujud di ruangan Masjidil Haram yang besar dan terbuka mengitari halaman Ka’bah. Sementara di sisi lain membentang jalan dari bukit Shafa ke bukit Marwah, dimana jamaah berjalan cepat setengah berlari mencapai ujung kedua bukit dengan membaca do’a-do’a Sya’i, sambil mengenang perjuangan seorang ibu bernama Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim a.s. yang berusaha mendapatkan seteguk air pelepas dahaga puteranya Ismail a.s.
Puncak ibadah dirasakannya waktu wukuf diArafah, dimana seakan-akan terdengar firman Allah swt. dari balik awan, membelah langit, membanggakan kehadiran hamba-hambaNya di padang pasir yang luas dan udaranya sangat panas kepada para Malaikat dan seluruh penghuni langit.
“Sesungguhnya Allah menunjukkan kemegahanNya atas orang-orang yang sedang berada di Arafah kepada penghuni langit, seraya berfirman:
‘Lihatlah hamba-hambaKu, mereka datang dengan kepala kusut dan penuh debu”.
(HR. Ahmad dan Hakim).
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Ibnu Batutah melakukan pengembaraan pertama ke Iraq, dimana dia menemui tokoh penguasa dan ulama di kota Mosul dibagian utara negeri ini dan mengunjungi tempat-tempat yang mempunyai nilai religius dan historis seperti masjid, istana-istana, madrasah dan makam para ulama. Iraq memiliki dataran tinggi yang kering dengan padang rumput yang berbukit-bukit diantara sungai Tigris dan Eufrat dan dataran rendah dekat Samarra yang subur dan padat penduduknya. Di Sammara terdapat reruntuhan Masjid Agung yang dibangun pada masa Khalifah Al Mutawakkil (847 – 861 M), sementara Mausoleum Abbas bin Ali bin Abi Thalib terdapat di Karbala, sedangkan Mausoleum Syekh Abdul Qadir Al Jaelani berada di kota Baghdad, yang didirikan pada abad ke-13.
Sesudah dari Iraq dan mengunjungi negeri-negeri Ajam, Ibnu Batutah berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya seorang hamba telah Aku berikan kesehatan pada tubuhnya dan Aku berikan kelapangan kepadanya dalam kehidupan, (kemudian) telah lewat padanya lima tahun tetapi ia tidak datang kepadaKu (melakukan ibadah haji), maka ia pasti
tidak akan mendapatkan kebajikan”.(HR. Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Seusai ibadah haji ia melanjutkan perjalanan ke Mesir, Syam, Turki, Uzbekistan, Afghanistan terus ke India. Disini dia menetap cukup lama dan dipercaya oleh Sultan Muhammad bin Tugluq (1325 – 1351 M) untuk menduduki jabatan sebagai kadi di Delhi. Oleh Sultan dia diutus ke negeri China untuk satu misi kenegaraan, dimana dia sempat tinggal cukup lama di kepulauan Maladewa dan singgah beberapa hari di Samudera Pasai, di ujung kepulauan Nusantara.
Pada musim haji berikutnya, Ibnu Batutah tidak melewatkan kesempatan untuk ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Beberapa tahun kemudian ia pergi ke Granada, Spanyol sebagai bagian penutup pengembaraannya. Dan untuk selanjutnya penulis sejarah Islam terbesar ini, menghabiskan masa tuanya di negeri kelahirannya Maroko yang diisi dengan kesibukan yang bermanfaat bagi diri dan ummat, dia terus menulis, memperbanyak ibadah, terus mendekatkan diri bertaqarrub dengan memperbanyak dzikrullah, hingga Allah swt. memanggilnya pulang ke kampung akhir pengembaraan, pada tahun 779 H / 1377 M saat berusia 73 tahun.

Suka Cemberut = menyengsarakan diri sendiri ?

Oleh: Ulis Tofa, Lc

Ketika Anda membuka lembaran sirah kehidupan Muhammad saw., Anda tidak akan pernah berhenti kagum melihat kemuliaan dan kebesaran pribadi beliau saw.
Sisi kebesaran itu terlihat dari sikap seimbang dan selaras dalam setiap perilakunya, sikap beliau dalam menggunakan segala sarana untuk meluluhkan kalbu setiap orang dalam setiap kesempatan.
Sarana paling besar yang dilakukan Muhammad saw. dalam dakwah dan perilaku beliau adalah, gerakan yang tidak membutuhkan biaya besar, tidak membutuhkan energi berlimpah, meluncur dari bibir untuk selanjutnya masuk ke relung kalbu yang sangat dalam.
Jangan Anda tanyakan efektifitasnya dalam mempengaruhi akal pikiran, menghilangkan kesedihan, membersihkan jiwa, menghancurkan tembok pengalang di antara anak manusia!. Itulah ketulusan yang mengalir dari dua bibir yang bersih, itulah senyuman!
Itulah senyuman yang direkam Al Qur’an tentang kisah Nabi Sulaiman as, ketika Ia berkata kepada seekor semut,
“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. An Naml:19
Senyuman itulah yang senantiasa keluar dari bibir mulia Muhammad saw., dalam setiap perilakunya. Beliau tersenyum ketika bertemu dengan sahabatnya. Saat beliau menahan amarah atau ketika beliau berada di majelis peradilan sekalipun.
فهذا جرير -رضي الله عنه- يقول -كما في الصحيحين-: ما حَجَبني رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- منذُ أسملتُ، ولا رآني إلا تَبَسَّم في وجهي.
Diriwayatkan dari Jabir dalam sahih Bukhari dan Muslim, berkata, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah saw tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.”
Suatu ketika Muhammad saw. didatangi seorang Arab Badui, dengan serta merta ia berlaku kasar dengan menarik selendang Muhammad saw., sehingga leher beliau membekas merah. Orang Badui itu bersuara keras, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu memberikan harta dari Baitul Maal! Muhammad saw. menoleh kepadanya seraya tersenyum. Kemudian beliau menyuruh sahabatnya memberi harta dari baitul maal kepadanya.”
Ketika beliau memberi hukuman keras terhadap orang-orang yang terlambat dan tidak ikut serta dalam perang Tabuk, beliau masih tersenyum mendengarkan alasan mereka.
يقول كعب -رضي الله عنه- بعد أن ذكر اعتذار المنافقين وحلفهم الكاذب: فَجِئْتُهُ فَلَمَّا سَلَّمْتُ عَلَيْهِ تَبَسَّمَ تَبَسُّمَ الْمُغْضَبِ، ثُمَّ قَالَ «تَعَالَ» . فَجِئْتُ أَمْشِي حَتَّى جَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ.
Ka’ab ra. berkata setelah mengungkapkan alasan orang-orang munafik dan sumpah palsu mereka:
“Saya mendatangi Muhammad saw., ketika saya mengucapkan salam kepadanya, beliau tersenyum, senyuman orang yang marah. Kemudian beliau berkata, “Kemari. Maka saya mendekati beliau dan duduk di depan beliau.”
Suatu ketika Muhammad saw. melintasi masjid yang di dalamnya ada beberapa sahabat yang sedang membicarakan masalah-masalah jahiliyah terdahulu, beliau lewat dan tersenyum kepada mereka.
Beliau tersenyum dari bibir yang lembut, mulia nan suci, sampai akhir detik-detik hayat beliau.
- يقول أنس -كما في الصحيحين-: بينما الْمُسْلِمُونَ في صَلاَةِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الإِثْنَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بَهُمْ لَمْ يَفْجَأْهُمْ إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ كَشَفَ سِتْرَ حُجْرَةِ عَائِشَةَ، فَنَظَرَ إِلَيْهِمْ وَهُمْ فِي صُفُوفِ الصَّلاَةِ. ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ!
Anas bin Malik berkata diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim, “Ketika kaum muslimin berada dalam shalat fajar, di hari Senin, sedangkan Abu Bakar menjadi imam mereka, ketika itu mereka dikejutkan oleh Muhammad saw. yang membuka hijab kamar Aisyah. Beliau melihat kaum muslimin sedang dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum kepada mereka!”
Sehingga tidak mengherankan beliau mampu meluluhkan kalbu sahabat-shabatnya, istri-istrinya dan setiap orang yang berjumpa dengannya!
Menyentuh Hati
Muhammad saw. telah meluluhkan hati siapa saja dengan senyuman. Beliau mampu “menyihir” hati dengan senyuman. Beliau menumbuhkan harapan dengan senyuman. Beliau mampu menghilangkan sikap keras hati dengan senyuman. Dan beliau saw. mensunnahkan dan memerintahkan umatnya agar menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Bahkan beliau menjadikan senyuman sebagai lahan berlomba dalam kebaikan. Rasulullah saw. bersabda,
فقال: (وتبسمك في وجه أخيك صدقة) رواه الترمذي وصححه ابن حبان.
“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” At Tirmidzi dalam sahihnya.
Meskipun sudah sangat jelas dan gamblang petunjuk Nabi dan praktek beliau langsung ini, namun Anda masih banyak melihat sebagaian manusia masih berlaku keras terhadap anggota keluarganya, tehadap rumah tangganya dengan tidak menebar senyuman dari bibirnya dan dari ketulusan hatinya.
Anda merasakan bahwa sebagian manusia -karena bersikap cemberut dan muka masam- mengira bahwa giginya bagian dari aurat yang harus ditutupi! Di mana mereka di depan petunjuk Nabi yang agung ini! Sungguh jauh mereka dari contoh Nabi muhammad saw.!
Ya, kadang Anda melewati jam-jam Anda dengan dirundung duka, atau disibukkan beragam pekerjaan, akan tetapi Anda selalu bermuka masam, cemberut dan menahan senyuman yang merupakan sedekah, maka demi Allah, ini adalah perilaku keras hati, yang semestinya tidak terjadi. Wal iyadzubillah.
Pengaruh Senyum
Sebagian manusia ketika berbicara tentang senyuman, mengaitkan dengan pengaruh psikologis terhadap orang yang tersenyum. Mengkaitkannya boleh-boleh saja, yang oleh kebanyakan orang boleh jadi sepakat akan hal itu. Namun, seorang muslim memandang hal ini dengan kaca mata lain, yaitu kaca mata ibadah, bahwa tersenyum adalah bagian dari mencontoh Nabi saw. yang disunnahkan dan bernilai ibadah.
Para pakar dari kalangan muslim maupun non muslim melihat seuntai senyuman sangat besar pengaruhnya.
Dale Carnegie dalam bukunya yang terkenal, “Bagaimana Anda Mendapatkan Teman dan Mempengaruhi Manusia” menceritakan:
“Wajah merupakan cermin yang tepat bagi perasaan hati seseorang. Wajah yang ceria, penuh senyuman alami, senyum tulus adalah sebaik-baik sarana memperoleh teman dan kerja sama dengan pihak lain. Senyum lebih berharga dibanding sebuah pemberian yang dihadiahkan seorang pria. Dan lebih menarik dari lipstik dan bedak yang menempel di wajah seorang wanita. Senyum bukti cinta tulus dan persahabatan yang murni.”
Ia melanjutkan, “Saya minta setiap mahasiswa saya untuk tersenyum kepada orang tertentu sekali setiap pekannya. Salah seorang mahasiswa datang bertemu dengan pedagang, ia berkata kepadanya, “Saya pilih tersenyum kepada istriku, ia tidak tau sama sekali perihal ini. Hasilnya adalah saya menemukan kebahagiaan baru yang sebelumnya tidak saya rasakan sepanjang akhir tahun-tahun ini. Yang demikian menjadikan saya senang tersenyum setiap kali bertemu dengan orang. Setiap orang membalas penghormatan kepada saya dan bersegera melaksanakan khidmat -pelayanan- kepada saya. Karena itu saya merasakan hidup lebih ceria dan lebih mudah.”
Kegembiraan meluap ketika Carnegie menambahkan, “Ingatlah, bahwa senyum tidak membutuhkan biaya sedikitpun, bahkan membawa dampak yang luar biasa. Tidak akan menjadi miskin orang yang memberinya, justeru akan menambah kaya bagi orang yang mendapatkannya. Senyum juga tidak memerlukan waktu yang bertele-tele, namun membekas kekal dalam ingatan sampai akhir hayat. Tidak ada seorang fakir yang tidak memilikinya, dan tidak ada seorang kaya pun yang tidak membutuhkannya.”
Betapa kita sangat membutuhkan sosialisasi dan penyadaran petunjuk Nabi yang mulia ini kepada umat. Dengan niat taqarrub ilallah -pendekatan diri kepada Allah swt.- lewat senyuman, dimulai dari diri kita, rumah kita, bersama istri-istri kita, anak-anak kita, teman sekantor kita. Dan kita tidak pernah merasa rugi sedikit pun! Bahkan kita akan rugi, rugi dunia dan agama, ketika kita menahan senyuman, menahan sedekah ini, dengan selalu bermuka masam dan cemberut dalam kehidupan.
Pengalaman membuktikan bahwa dampak positif dan efektif dari senyuman, yaitu senyuman menjadi pendahuluan ketika hendak meluruskan orang yang keliru, dan menjadi muqaddimah ketika mengingkari yang munkar.
Orang yang selalu cemberut tidak menyengsarakan kecuali dirinya sendiri. Bermuka masam berarti mengharamkan menikmati dunia ini. Dan bagi siapa saja yang mau menebar senyum, selamanya ia akan senang dan gembira. Allahu a’lam

Wanita Solehah Lebih Baik Dari Bidadari Syurga

Wanita solehah tidak boleh sembarangan mencintai lelaki. Lelaki yang paling wajar dicintai oleh wanita solehah ialah Nabi Muhammad SAW. Ini kerana Nabi Muhammad SAW adalah pembela nasib kaum wanita. Baginda telah mengangkat martabat kaum wanita daripada diperlakukan dengan kehinaan pada zaman jahiliyah, khususnya oleh kaum lelaki. Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW juga berjaya menyempurnakan budi pekerti kaum lelaki. Ini membawa keuntungan kepada kaum wanita kerana mereka mendapat kebebasan dalam kawalan dan perlindungan keselamatan oleh kaum lelaki.
Iaitu dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW menjadikan bapa atau suami mereka
berbuat baik dan bertanggungjawab ke atas keluarganya. Demikian juga dengan kedatangan
Rasulullah SAW telah menjadikan anak-anak tidak lupa untuk berbakti kepada ibu mereka,
contohnya seperti Uwais Al-Qarni. Salah satu tanda kasih Baginda SAW terhadap kaum wanita ialah dengan berpesan kepada kaum lelaki agar berbuat baik kepada wanita, khususnya ahli keluarga mereka. Rasulullah SAW sendiri menjadikan diri dan keluarga baginda suri teladan kepada kaum lelaki untuk bagaimana berbuat baik dan memuliakan kaum wanita.
Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan yang berbuat baik kepada ahli keluarganya.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmizi) Lagi sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap
keluarganya; dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang yang
memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita
adalah orang yang tidak tahu budi.” (Riwayat Abu ‘Asakir). Tapi betul ke wanita solehah itu lebih baik daripada bidadari syurga?
Daripada Umm Salamah, isteri Nabi SAW, katanya(di dalam sebuah hadis yang panjang): Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Adakah wanita di dunia lebih baik atau bidadari?” Baginda
menjawab, “Wanita di dunia lebih baik daripada bidadari sebagaimana yang zahir lebih baik daripada yang batin.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimanakah itu?” Baginda menjawab, “Dengan solat, puasa dan ibadat mereka kepada Allah, Allah akan memakaikan muka-muka mereka dengan cahaya dan jasad mereka dengan sutera yang berwarna putih,berpakaian hijau dan berperhiasan kuning….(hingga akhir hadis)” (riwayat al-Tabrani).
Terkejut bila membaca hadis ni dan ingin berkongsi bersama rakan-rakan lain. Sungguh tinggi darjat wanita solehah, sehingga dikatakan lebih baik daripada bidadari syurga. Semoga hadis ini menjadi inspirasi bagi kita semua dalam memperbaiki diri agar menjadi lebih baik daripada bidadari syurga. InsyaAllah.. Tapi, bagaimana yang dikatakan wanita solehah itu? Ikuti kisah berikut, semoga kita sama-sama beroleh pengajaran.
Seorang gadis kecil bertanya ayahnya, “Ayah ceritakanlah padaku perihal muslimah sejati?” Si ayah pun menjawab, “Anakku,seorang muslimah sejati bukan dilihat dari kecantikan dan
keayuan wajahnya semata-mata.Wajahnya hanyalah satu peranan yang amat kecil,tetapi
muslimah sejati dilihat dari kecantikan dan ketulusan hatinya yang tersembunyi. Itulah yang terbaik”. Si ayah terus menyambung, “Muslimah sejati juga tidak dilihat dari bentuk tubuh badannya yang mempersona,tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya yang mempersona itu".

"Muslimah sejati bukanlah dilihat dari sebanyak mana kebaikan yang diberikannya ,tetapi dari keikhlasan ketika ia memberikan segala kebaikan itu.Muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya
bicarakan.Muslimah sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa,tetapi dilihat dari
bagaimana caranya ia berbicara dan berhujah kebenaran". Berdasarkan ayat 31,surah An
Nurr,Abdullah Ibnu Abbas dan lain-lainya berpendapat, "Seseorang wanita islam hanya boleh mendedahkan wajah,dua tapak tangan dan cincinnya di hadapan lelaki yang bukan mahram". (As syeikh said hawa di dalam kitabnya Al Asas fit Tasir).
“Janganlah perempuan -perempuan itu terlalu lunak dalam berbicara sehingga menghairahkan orang yang ada perasaan dalam hatinya,tetapi ucapkanlah perkataan yang baik-baik”. (surah Al Ahzab:32). “Lantas apa lagi ayah?”sahut puteri kecil terus ingin tahu. “Ketahuilah muslimah sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian grand tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya melalui apa yang dipakainya. Muslimah sejati bukan dilihat dari kekhuwatirannya digoda orang di tepi jalanan tetapi dilihat dari kekhuwatirannya dirinyalah yang mengundang orang tergoda".
"Muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani tetapi dilihat dari sejauh mana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa redha dan kehambaan kepada TUHAN nya,dan ia sentiasa bersyukur dengan segala kurniaan yang diberi.Dan ingatlah anakku muslimah sejati bukan dilihat dari sifat mesranya dalam bergaul tetapi dilihat dari sejauh mana ia mampu menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul”. Setelah itu si anak bertanya, ”Siapakah yang memiliki criteria seperti itu ayah?Bolehkah saya menjadi sepertinya?mampu dan layakkah saya ayah?”. Si ayah memberikan sebuah buku dan berkata,”Pelajarilah mereka!supaya kamu berjaya nanti.INSYA ALLAH kamu juga boleh menjadi muslimah sejati dan wanita yang solehah kelak,malah semua wanita boleh”. Si anak pun segera mengambil buku tersebut lalu terlihatlah sebaris perkataan berbunyi ISTERI RASULULLAH. “Apabila seorang perempuan itu solat lima waktu ,puasa di bulan ramadhan ,menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya,maka masuklah ia ke dalam syurga dari pintu-pintu yang ia kehendakinya”.(riwayat Al Bazzar)

Ummu Ibrahim al Bashariyyah

Dikisahkan di Bashrah terdapat wanita-wanita ahli ibadah, di antaranya adalah Ummu Ibrahim al-Hasyimiyah. Ketika musuh Islam menyusup ke kantong-kantong perbatasan wilayah Islam, maka orang-orang tergerak untuk berjihad di jalan Allah.
'Abdul Wahid bin Zaid al Bashri berdiri di tengah orang-orang sambil berkhutbah untuk menganjurkan mereka berjihad. Sedangkan saat itu Ummu Ibrahim turut menghadiri majelis ini. 'Abdul Wahid terus berkhutbah, sampailah pembicaraannya menerangkan tentang bidadari. Bidadari merupakan imbalan bagi sebagian penghuni surga, akibat amalannya diterima oleh Allah, amalan tersebut antara lain adalah jihad.
'Abdul Wahid menyebutkan pernyataaan-pernyataan tentang bidadari, kemudian dia bersenandung menyifati bidadari ini.
Gadis yang berjalan tenang dan berwibawa
Orang yang menyifatkan memperoleh apa yang diungkapkannya
Dia diciptakan dari segala sesuatu yang baik nan harum
Segala sifat jahat telah dienyahkan
Allah menghiasinya dengan wajah
yang berhimpun padanya sifat-sifat kecantikan yang luar biasa
Matanya bercelak demikian menggoda
Pipinya mencipratkan aroma kesturi
Lemah gemulai berjalan di atas jalannya
Seindah-indah yang dimiliki dan kegembiraan yang berbinar-binar
Apakah kau melihat peminangnya mendengarkannya
Ketika mengelilingkan piala dan bejana
Di taman yang elok yang kita dengar suaranya
Setiap kali angin menerpa tangan itu, bau harumnya menyebar
Dia memanggilnya dengan cinta yang jujur
Hatinya terisi dengannya hingga melimpah
Wahai kekasih aku tidak menginginkan selainnya
Dengan cincin tunangan sebagai pembukanya
Janganlah kau seperti orang yang bersungguh-sungguh ke puncak hajatnya
Kemudian setelah itu ia meninggalkannya
Tidak, orang yang lalai tidak akan bisa meminang wanita sepertiku
Yang meminang wanita sepertiku hanyalah orang yang merengek-rengek
Maka sebagian orang bergerak pada sebagian yang lainnya, dan majelis itupun menjadi ramai dan gaduh. Kemudian Ummu Ibrahim yang mengikuti khutbah 'Abdul Wahid ini menyeruak dari tengah orang-orang seraya berkata kepada 'Abdul Wahid,
"Wahai Abu 'Ubaid, bukankah engkau tahu anakku Ibrahim. Para pemuka Bashrah meminangnya untuk puteri-puteri mereka, tetapi aku memukul anakku ini di hadapan mereka. Demi Allah, gadis (bidadari) ini mencengangkanku dan aku meridhainya menjadi pengantin untuk puteraku. Ulangi lagi apa yang engkau sebutkan tentang kecantikannya.”

Mendengar hal itu ‘Abdul Wahid kembali menyifatkan bidadari, kemudian bersenandung:
Wajahnya mengeluarkan cahaya yang kembali mengeluarkan cahaya
Sendau guraunya seharum parfum dari parfum murni
Jika menginjakkan sandalnya di atas pasir yang sangat gersang
niscaya seluruh penjuru menjadi hijau, dengan tanpa hujan
Tali yang mengikat pinggangnya
Seperti ranting pohon Raihan yang berdaun hijau
Seandainya meludahkan air liurnya dilautan
Niscaya umat manusia merasakan segarnya meminum air lautan
Orang-orangpun menjadi semakin ramai, lalu Ummu Ibrahim maju seraya berkata kepada ‘Abdul Wahid,
“Wahai Abu Ubaid, demi Allah, gadis ini mencengangkanku dan aku meridhainya sebagai pengantin bagi puteraku. Apakah engkau sudi menikahkan puteraku dengan gadis tersebut saat ini juga?, Ambilllah maharnya dariku sebanyak 10.000 dinar, serta bawalah putraku keluar bersamamu menuju peperangan itu. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan syahadah (mati syahid) kepadanya, sehingga dia akan memberi syafa’at untukku dan untuk ayahnya pada hari Kiamat.”
‘Abdul Wahidpun menjawab, “Jika engkau melakukannya, niscaya engkau dan anakmu akan mendapatkan keberuntungan yang besar.”
Kemudian Ummu Ibrahim memanggil puteranya, “Wahai Ibrahim!”
Ibrahimpun bergegas maju dari tengah orang-orang seraya mengatakan, “Aku penuhi panggilanmu, wahai ibu.”
Ummu Ibrahim berkata, “Wahai puteraku! Apakah engkau ridha dengan gadis (bidadari) ini sebagai isteri, dengan syarat engkau mengorbankan dirimu di jalan Allah dan tidak kembali dalam dosa-dosa?”
Pemuda ini menjawab, “Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat ridha.”
Ummu Ibrahim berkata, “Ya Allah, aku menjadikan-Mu sebagai saksi bahwa aku telah menikahkan anakku ini dengan gadis ini dengan pengorbanannya di jalan-Mu dan tidak kembali dalam dosa. Maka, terimalah dariku, wahai sebaik-baik Penyayang.”
Kemudian ibu ini pergi, lalu datang kembali dengan membawa 10.000 dinar seraya mengatakan, “Wahai Abu ‘Ubaid, ini adalah mahar gadis itu. Bersiaplah dengan mahar ini. “
Abu Ubaidpun menyiapkan para pejuang di jalan Allah.
Sang ibu kemudian pergi membelikan kuda yang baik untuk puteranya dan menyiapkan senjata untuknya.
Kemudian berangkatlah rombongan ‘Abdul Wahid yang didalamnya terdapat Ibrahim, ke medan perang. Bersamaan dengannya dibacakanlah QS. At-Taubah:111 yang artinya,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka ...”
Ketika sang ibu hendak berpisah dengan puteranya, maka ia menyerahkan kain kafan dan wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, jika engkau hendak bertemu dengan musuh, maka pakailah kain kafan ini dan gunakanlah wangi-wangian ini. Janganlah Allah melihatmu dalam keadaan lemah di jalan-Nya.” Kemudian ia memeluk puteranya dan mencium keningnya seraya mengatakan, “wahai anakku, Allah tidak mengumpulkan antara aku denganmu kecuali di hadapan-Nya pada hari Kiamat.”
Selanjutnya marilah kita baca penuturan ‘Abdul Wahid
‘Abdul Wahid berkata, “Ketika kami sampai diperbatasan musuh, kemudian terompet pun ditiup, dan mulailah terjadi perang. Saat itu Ibrahim berperang di barisan terdepan. Ia membunuh musuh dalam jumlah yang besar, sampai musuh mengepungnya, kemudian membunuhnya.”
‘Abdul Wahid berkata, “Ketika kami hendak kembali ke Bashrah, aku berkata kepada Sahabat-Sahabatku,
‘Jangan kalian menceritakan kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang menimpa puteranya sampai aku mengabarkan kepadanya dengan sebaik-baik hiburan. Sehingga ia tidak bersedih dan pahalanya tidak hilang.’
Ketika kami sampai di Bashrah, orang-orangpun keluar untuk menyambut kami, dan Ummu Ibrahim pun berada diantara mereka.”
‘Abdul Wahid berkata: “Ketika dia memandangku, ia bertanya, ‘Wahai Abu Ubaid, apakah hadiah dariku diterima sehingga aku diberi ucapan selamat, atau ditolak sehingga aku diberi belasungkawa?’
Akupun menjawab, ‘Hadiahmu telah diterima. Sesungguhnya Ibrahim hidup bersama orang-orang yang hidupdalam keadaan diberi rizki (insyaa Allah)’.
Maka ibu inipun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah karena bersyukur, dan mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku dan menerima ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi.
Keesokan harinya, Ummu Ibrahim datang ke masjid yang didalamnya terdapat ‘Abdul Wahid lalu dia berseru, ‘Assalaamu’alaikum wahai Abu ‘Ubaid, ada kabar gembira untukmu’. Selanjutnya dia berkata,
‘Tadi malam aku bermimpi melihat puteraku, Ibrahim, di sebuah taman yang indah. Di atasnya terdapat kubah hijau, sedangkan dia berada di atas ranjang yang terbuat dari mutiara, dan kepalanya memakai mahkota. Ibrahim berkata,
"Wahai ibu, bergembiralah. Sebab maharnya telah diterima dan aku bersanding dengan pengantin wanita.’”
Demikianlah salah satu kisah ibu-ibu umat Islam terdahulu. Yang dia menyebabkan bangsa Arab dan umat Islam dahulu, menjadi bangsa yang kuat. Umat Islam dahulu menjadi umat yang mempunyai kewibawaan yang besar diantara umat-umat yang lain. Salah satunya adalah upaya dari ibu-ibu dengan menyiapkan anak-anaknya sebagai prajurit pembela Islam.
Marilah para ibu, maupun calon ibu untuk mencontoh segala yang dilakukan oleh ibu-ibu umat Islam ini jaman terdahulu, yang selalu membantu suami dan anaknya dalam rangka mentaati Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dengannya semoga kejayaan dan kewibawaan umat Islam mampu kembali.

Sumber: Isyratun Nisaa’ minal alif ilal yaa’

Apakah keengganan itu sebuah kesalahan ?

Empat tahun sudah aku resmi menjadi jamaah di masjid kampung ini. Menurutku sebagaimana umumnya masjid saat ini kebanyakan jamaah yang datang adalah dari generasi di atas usia lima puluh tahun. Selain kegiatan rutin sholat lima waktu juga ada wadah pengajian rutin yang beranggotakan sekali lagi para bapak yang sudah berusia uzur. Selama empat tahun tersebut kuamati ada kebingungan di kalangan anak muda dalam beraktivitas di masjid ini. Kebanyakan anak muda telah mengikuti suatu harokah yang menurutku kontra produktif terbukti dari tahun ke tahun selalu ada jarak antara anak-anak muda tersebut dengan para bapak jamaah yang sudah tua. Menurutku cukup aneh karena masing-masing kubu sama-sama punya aktivitas untuk menimba ilmu melalui jalur masing-masing namun bertahun-tahun pula hubungan di antara mereka tidak juga mencair. Karena seringnya terjadi beda pendapat yang tidak bisa dikompromikan akhirnya mereka memilih berbeda partisi dalam berbagai aktivitas selain sholat lima waktu tentunya.
Di tahun ini pula Alhamdulillaah aku mendapatkan kepercayaan dari dua orang pengurus untuk ikut memakmurkan berbagai aktifitas dan program di masjid tersebut. Dengan makin banyaknya interaksi dengan mereka saat ini aku sudah mulai akrab dengan sekitar lima orang di antara mereka. Mereka sebenarnya adalah orang-orang berlatar belakang pendidikan tinggi terbukti ada yang jadi dosen, pegawai PT PAL, pensiunan instansi dll. Hal ini seakan menambah motivasiku untuk menggiatkan kembali kegiatan silaturahim dengan bapak-bapak yang lain.
Namun ada satu hal mengganjal dalam diriku hingga saat ini yaitu keenggananku untuk menjadi salah satu Imam di masjid itu. Bukan karena aku tidak bisa namun ada beberapa pertimbangan lain misalnya sampai dengan saat ini baru satu orang di antara pengurus yang merekomendasikan agar aku mau menjadi salah satu imam, aku inginnya memang kebanyakan jamaah yang meminta aku maju dan bukan sebagian kecil, yang kedua adalah faktor usia, usiaku yang tiga puluhan tahun sangat jauh bila dibanding usia para pengurus lain yang sudah diatas lima puluh tahun, menurutku usia sich tidak pengaruh cuman karakter orang Surabaya yang tidak kunjung memberi kesempatan bagi orang yang masih baru dan lebih muda untuk maju meski hanya sekedar basa-basi itu tidak pernah aku dapatkan, padahal aku ingin dengan penuh keikhlasan mereka minta aku untuk maju, yang ketiga kalau aku memaksakan diri maju aku khawatir bakal menyinggung perasaan anak-anak muda lain yang merasa telah lama mengikuti berbagai kajian menambah ilmu di harokahnya yang tentu saja itu menjadi alasan bahwa mereka jauh lebih pantas dan berhak, yang keempat aku bukan bagian dari grup partisi anak-anak muda yang telah tergabung dalam harokah itu sehingga dengan mereka pun hubungan kami biasa-biasa saja dan belum pernah sekalipun dari mereka merekomendasikan aku untuk maju.
Dalam berbagai perenungan seringkali aku merasa bersalah pada saat imam yang maju itu bacaannya pas-pasan, meski dalam hati aku berkata kok ya mekso sudah sepuh dan pas-pasan begitu berani maju menjadi imam. Sangat besar sebenarnya keinginanku untuk memaksakan diri maju namun aku khawatir hal itu aku lakukan karena dominasi kesombonganku sehingga merasa lebih baik di banding yang lainnya. Ya Allah sampai kapankah kesempatan menjadi imam masjid itu tiba kepada diriku ? Atau akankah hal itu hanya akan menjadi angan-angan yang berkepanjangan ?

Akhwat itu ...

Telah lima tahun kuinjakan kaki di kantor ini. Banyak pembelajaran & pengalaman baru bagi seorang asli kampung sepertiku. Kehidupan kantor ini memang sangat jauh berbeda dengan kehidupan keseharianku sebelumnya di rumah. Di kantor inilah aku mengetahui perlunya beli baju yang baru dan bagus untuk bekerja, bagaimana cara menghilangkan bau badan, bagaimana cara menggunakan dasi, bagaimana itu bekerjasama dalam sebuah organisasi perkantoran, bagaimana menggunakan komputer, bagaimana suasana rapat rutin bagian dstnya.
Telah lima tahun pula kurasakan ada sesuatu memori sangat indah yang makin lama makin hilang. Sebelum masuk kantor ini selama hampir empat tahun kurasakan kehidupan ini begitu berkah. Dari bangun pada waktu dinihari di kala orang lain masih terlelap, aktifitas di pagi hari hingga kembali tidur di malam hari. Sungguh masih terasa sangat indah sholat malam di masjid kampungku. Suasana yang sangat sepi, hawa yang begitu dingin dengan diiringi suara serangga di pagi buta adalah sangat sangat indah. Menyalakan tape pembacaan ayat suci Al-Qur’an setengah jam sebelum adzan Subuh adalah sangat indah. Berdzikir dan berdo’a sambil menunggu waktu shubuh di masjid adalah sangat indah. Mengumandangkan adzan shubuh adalah memori yang sangat indah. Melaksanakan Sholat Fajr yang pahalanya besar itu sungguh indah. Membaca Qur’an habis berdzikir & berdo’a ba’dha Shubuh adalah sangat indah. Ya suasana pembuka kehidupan selalu kulalui dengan sangat indahnya.
Siang hari kuhabiskan waktuku di sekolah seperti umumnya pelajar. Menjelang sore kembali kehidupan yang serba indah itu menghampiriku. Membaca Qur’an seperempat jam sebelum adzan maghrib di masjid dengan diiringi suara gembira anak-anak TPA. Mengumandangkan adzan Maghrib dengan penuh cinta kpd Allah. Ba’dha maghrib hingga Isya’ adalah masa yang sangat emas bagiku. Di masjid inilah setiap hari di waktu tersebut kusibukkan diriku dengan mengajar TPA. Anak-anak kampungku memang sangat bersemangat belajar di TPA ini. 40 – 60 anak adalah jumlah yang sangat banyak untuk ukuran kampungku yang kecil. Sangat indah menceritakan kehidupan para nabi & rasul kpd mereka, sangat indah mengajarkan iqro’ & al-qur’an kpd mereka. Ba’dha Isya’ bahkan ada beberapa anak yang bahkan minta tambahan materi keislaman.
Sesuatu hal yang beda adalah bahwa para pengajar di TPA kami semuanya adalah laki-laki. Istilah Akhwat atau aktifis wanita bagiku baru kudapatkan kisahnya di majalah Annida. Belum ada seorang wanita akhwat pun yang ku kenal langsung hingga usiaku mendekati 20. Tanpa adanya figur akhwat sbg contoh di daerah kami terkadang kasihan juga adik-adik perempuan yang sudah mulai menginjak usia akil balikh. Perkembangan dan pembinaan mereka menjadi tidak terarah. Berbagai usaha telah kami upayakan untuk mendatangkannya sekali waktu melalui berbagai silaturahim dengan TPA lain. Akan tetapi bagi orang udik seperti kami memang berat dan susah bahkan hingga saatnya aku harus meninggalkan kampung tercinta ini.
Di usiaku yang 20 kumulai kehidupan & suasana yang begitu baru. Aku optimis hidup di kota ini karena yang kutahu Surabaya dikelilingi oleh kota-kota santri yang kuyakin dengan mudah aku bisa belajar lebih dalam lagi terkait keislaman ini pada para kiai disana. 2 tahun pertama ternyata waktuku benar-benar banyak terkuras untuk belajar bekerja. Faktor teman yang semuanya baru memang sangat berpengaruh utamanya dalam prioritas dan memilih alternatif kegiatan. Benturan kebiasaan kami menghasilkan berbagai kegiatan kompromi diantara kami. Perlahan namun pasti hidupku mulai menjauh dari kegiatan di masjid. Teman baru memang banyak namun tidak ada yang mau diajak wira-wiri ke masjid untuk sekedar sholat 5 waktu apalagi mengikuti berbagai kajian keislaman. Kehidupanku mulai terasa hampa hingga akhirnya pada saat usia 22 kuputuskan aku harus menikah. Aku yakin menjalani kehidupan ini dua orang jauh lebih baik dibanding sendirian. Problem & pertanyaan besar mengusik diri ini, dengan siapa aku menikah ? Sejujurnya aku punya cita-cita besar untuk mewujudkan sebuah rumah tangga yang berkah dan sakinah. Aku ingin punya anak-anak yang jauh lebih bagus & baik keislamannya daripada aku maka sudah seharusnyalah ibunya anak-anak adalah seorang wanita yang mampu mendukung & mengimplementasikan cita-citaku itu.
Aku kembali mencoba merenung dalam kesederhanaan hidup ini terkait figur wanita yang kuidamkan. Sejujurnya di usia 22 ini aku masih sangat buta & minim pengetahuan terhadap wanita. Berpikir tentang bagaimana mengenal dan cara untuk menikah seringkali membuatku benar-benar menangis. Sering sekali sehabis pulang kerja kuhabiskan waktuku untuk beri’tikaf mulai maghrib sampai dengan jam 20 an di masjid, memohon kepada Allah untuk dimudahkan dalam proses mendapatkan jodoh ini. Sering aku berdo’a untuk calon istriku nanti semoga dia benar-benar sosok yang sesuai dengan yang aku dambakan.
Dalam kondisi itulah rasa penasaranku terhadap istilah akhwat kembali mengemuka. Dalam berbagai kisah & cerita dapat aku ambil kesimpulan bahwa akhwat itu pasti anaknya pak kiai ataupun para mahasiswi sebuah kampus yang berjilbab. Terlalu jauh bagiku mendambakan anak seorang pak kiai jika melihat historis kehidupanku yang memang awam. Pada akhirnya kuarahkan bidikanku ke kampus.
Pagi itu aku jalan sendiri ke pasar karang menjangan. Pasar itu dekat dengan UNAIR, dan aku yakin akan ada beberapa akhwat kampus belanja di pagi itu. Aku ingin bertaaruf dengan mereka meski hanya untuk mengenal bagaimana sebenarnya baju yang mereka pakai. Bagiku sangat indah dan membahagiakan melihat ada beberapa akhwat seperti mereka yang tetap eksis dan istiqomah dalam balutan busana islami. Dari beberapa kali pengamatan jarak jauh dapat aku simpulkan bahwa akhwat yang bagus menurutku bisa dinilai dari bajunya, yaitu yang jilbabnya panjang, busananya longgar dan harus memakai kaus kaki yang panjang.
Kembali problem besar bagiku adalah bagaimana untuk taaruf lebih lanjut karena bagaimanapun aku tidak mengenal mereka dan tidak punya channel kepada mereka. Akhwat bagiku adalah seorang makhluk dengan rahasia dan misteri yang sangat besar dan kuanggap adalah ujian yang paling besar dan berat dari Allah. Berpikir tentangnya benar-benar menguras pikiran dan tenagaku, hingga akhirnya aku putuskan pulang kampung dan bersilaturahim dengan ustadzku dan minta bantuannya untuk segera dinikahkan. Aku berpendapat terlalu mikir akhwat malahan nggak nikah-nikah.
Ustadz di kampung sempat terhenyak melihat keberanianku di usia 22 itu yang kelihatan sangat kebelet untuk nikah. Sebulan kemudian ustadz memberitahuku untuk segera pulang kampung karena akan ditaarufkan dengan seorang akhwat.
Istilah taaruf adalah istilah yang masih sangat asing bagiku. Berpikir tentang taaruf itu apa ternyata membuat hatiku bergetar hebat dan perasaan was-was tak terkira. Bayangan seorang akhwat dengan akhlak sangat bagus benar-benar menghantui aku. Tanpa sadar nyaliku menjadi ciut kembali melihat keadaanku sekarang ini. Semakin merenung ternyata makin banyak hal yang membuat aku tidak percaya pada diri sendiri. Telah lebih dari 2 tahun aku kosong dari kegiatan di masjid, baik sebagai remas, pengajar TPA ataupun takmir masjid. Menurut sedikit info akhwat tsb adalah seorang aktivis masjid yang hoby mengurus TPA, juga sudah lama ikut kajian rutin yang namanya liqo’. Aku menjadi semakin yakin bahwa aku tidak mungkin sekufu dengan akhwat tersebut. Aku juga tidak yakin akan dapat membahagiakan akhwat tersebut. Kekurangan dan kelemahan makin banyak kutemukan pada diri ini. Tekadku untuk nantinya berjuang mati-matian membahagiakan calon istriku nanti justru menjadi beban yang amat berat bagiku, apakah pada saat ini aku mampu melakukan itu. Dalam berbagai do’a dan upaya malah semakin membuatku bimbang. Aku ditimpa penyakit ketakutan pada diri sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk menunda taaruf itu.
Mulai usia 22 ini aku terus mencoba meningkatkan intensitas ibadahku kepada Allah, sholat malam, sholat dhuha, sholat rowatib, puasa senin dan kamis kuupayakan kujaga terus agar segera diberi kekuatan untuk percaya diri menikah. Kuisi waktuku dengan kuliah dan mengikuti berbagai kajian keislaman untuk menambah bekal diriku.
Tak terasa usiaku kini sudah 25 tahun dan yang namanya akhwat itu masih sama definisinya bagiku adalah merupakan sesosok makhluk penuh misteri dan rahasia dalam hidupku.
Wahai akhwat sejati ... apakah jumlahmu cuma sangat sedikit sehingga aku susah menemukanmu ? Apakah derajatmu begitu tinggi sehingga hatiku selalu bergetar untuk mendekatimu ? Aktifitas kebaikan apa saja yang telah engkau lakukan yang bisa aku contoh dan implementasikan dalam kehidupanku sehingga aku bisa sekufu denganmu ? Proses menuju nikah mana yang mampu membuat pernikahan itu berkah ?
Ya Allah bimbinglah hamba-Mu yang semakin lemah dihadapan-Mu ini untuk menggapai mimpi hamba, mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah dan berkah serta dikaruniai anak-anak sholeh/sholihah, cerdas, bermental baja, pandai bersyukur, pandai menjaga diri sehingga dapat menjadi kader dakwah masa depan. Amiin.

Siti Aminah


Sudah menjadi ketetapan Allah swt. bahwasanya Nabi Muhammad saw. berasal dari keturunan silsilah yang terjaga dengan baik, terhormat, tidak ternoda oleh perbuatan rendah dan nista. Mulai dari silsilah yang teratas hingga yang terbawah, beliau berasal dari keturunan yang terbaik. Pada pertengahan abad ke enam Masehi, sejarah mencatat kemunculan sebuah keluarga yang bernama Bani Zuhrah dari kabilah Quraisy, satu-satunya kabilah yang memikul tanggung jawab mulia atas pengelolaan Ka’bah.
“Allah senantiasa memindahkan diriku dari tulang-tulang sulbi yang baik ke dalam rahim-rahim yang suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua, aku berada di dalam yang terbaik dari dua tulang sulbi itu”.
(Hadits Syarif).
Dari keluarga Bani Zuhrah inilah muncul seorang wanita mulia yang dijuluki Melati Zuhrah bernama Siti Aminah binti Wahab, ibunda Nabi Muhammad saw. Suatu kehormatan yang dianugerahkan Allah swt. kepada seorang hambaNya, yang memahkotai Bani Zuhrah dan kabilah Quraisy, dimana dalam rahimnya akan disemayamkan janin suci calon manusia terbesar sepanjang sejarah ummat manusia.
Seorang ahli sejarah Islam bernama Ibnu Ishaq mengatakan bahwa pada masa mudanya Siti Aminah binti Wahab adalah gadis Quraisy yang paling utama, baik karena asal keturunannya maupun dilihat dari kedudukannya.
Sebelum memasuki ‘masa pingitan’ gadis remaja, Aminah mempunyai beberapa teman bermain, antara lain putera pamannya sendiri bernama Abdullah bin Abdul Mutthalib, mereka sering bermain kejar-kejaran disekitar halaman Ka’bah.
Ketika tumbuh sebagai seorang pemuda tampan Abdullah tidak termasuk anak muda Makkah yang mengharapkan dapat meperisteri Aminah. Hal ini mengherankan wanita itu karena sudah ada beberapa keluarga yang berusaha mendekati orang tuanya tapi tidak terdapat utusan yang diharapkannya, utusan Abdul Mutthalib, orang tua pemuda yang selalu mengingatkannya pada masa kanak-kanaknya sewaktu bermain di dekat Ka’bah.
Sebenarnya Abdullah yang dinilai orang paling layak dan sepadan untuk menjadi pasangan Aminah karena kedudukan orang tuanya dan penampilan fisik serta kekuatan kepribadiannya.
Beberapa keluarga dari kabilah di Makkah yang mempunyai anak muda diam-diam bersaing untuk memperoleh simpati dari Bani Zuhrah agar bisa lebih dekat pada mereka, tapi tidak satupun dari mereka yang mampu menyentuh hati Siti Aminah melati Bani Zuhrah.
Kadang-kadang terlintas hasrat hatinya untuk bertemu dengan teman sepermainannya dulu, tapi kesadarannya sebagai seorang gadis yang sedang dalam pingitan dia harus menjaga kehormatan diri dan martabat keluarganya, tidak mungkin baginya untuk mengundang bertandang ke rumahnya siapa yang dikehendakinya apalagi keluar rumah menampakkan diri di hadapan orang banyak.
Sebagai gadis cerdas dan terhormat, Aminah menyadari aturan etika
yang diterapkan sejak jaman nenek-moyangnya dahulu, yang dimaksudkan untuk menjaga keselamatan dan kehormatan wanita Quraisy, bukannya dimaksudkan untuk mengekang kebebasan memilih pasangan atau bergaul.

Nadzar yang nyaris menelan korban
Abdullah adalah putera bungsu Abdul Mutthalib dari sepuluh anaknya yang kesemuanya laki-laki, yang kelak dikemudian hari menjadi ayah dari seorang utusan Allah, Nabi terbesar dan terakhir hingga akhir zaman, Muhammad Rasulullah saw.
Abdul Mutthalib bin Hasyim sebagai penguasa Makkah dan pengelola sumur Zamzam, dikenal orang karena kewibawaan dan kebijaksanaannya. Dia dihormati dan dipatuhi tidak hanya karena secara formal diakui sebagai ketua kota, tapi disegani dan dicintai karena sikapnya yang konsekwen dan dapat dipercaya.
Tidak diduga bahwa sikap positipnya tersebut beberapa puluh tahun kemudian mengakibatkan putera bungsu yang disayanginya, Abdullah, nyaris menjadi korban nadzar yang pernah diucapkannya dihadapan orang banyak. Adalah suatu kebanggaan bangsa Arab, khususnya keluarga Quraisy, pada waktu itu bila seorang ayah mempunyai banyak anak laki-laki sebagai lambang pewaris keperkasaan dan kemuliaan. Mereka malu dan merasa kurang berarti bila isterinya melahirkan anak perempuan, sehingga ada tradisi sesat mengubur bayi perempuan yang baru dilahirkan
Abdul Mutthalib pada waktu itu bernadzar kepada Allah, bila dia dikaruniai sepuluh anak laki-laki maka salah seorang daripadanya akan dikorbankan. Sebenarnya penduduk Makkah sudah melupakan nadzarnya yang sudah berumur puluhan tahun itu, namun sebagai orang yang selalu menepati janji, Abdul Mutthalib tidak akan mengingkari janji besar berupa nadzar yang dengan penuh kesadaran pernah diucapkannya.
Pada masa itu masyarakat Arab mempunyai keyakinan bahwa setiap nadzar harus dipenuhi bila yang dinadzarkan sudah tercapai meskipun seandainya hal itu berakibat buruk pada dirinya atau keluarganya.
Mereka berpandangan tidak memenuhi nadzar yang telah diikrarkan berarti mengingkari janji kepada Allah selain akan berakibat menurunnya martabat yang bersangkutan dihadapan masyarakat. Terlebih bila yang mengucapkan nadzar seorang pemimpin masyarakat seperti Abdul Mutthalib yang berarti mempertaruhkan kehormatan dan kemuliaan sebagai penguasa Makkah dan pengelola Ka’bah.
Ketika saat yang ditentukan Abdul Mutthalib tiba, dia membawa kesepuluh anaknya ke Ka’bah, dimana salah seorang diantaranya akan dikorbankan, mereka itu adalah Al Harits, Zubair, Abu Thalib, Abu Lahab, Ghaidaq, Dhirar, Abbas, Abdul Ka’bah, Qatsam dan Abdullah.
Berbondong-bondong penduduk Makkah datang ke Ka’bah ingin menyaksikan prosesi pengorbanan anak Abdul Mutthalib. Sebagian besar dari mereka sebenarnya tidak menyetujui pelaksanaan nadzar tersebut, tapi keseganan pada pemuka Makkah ini membuat mereka tidak berani mengajukan alternatip solusi pemenuhan janji besarnya tersebut. Para wanita Makkah dengan gelisah menanti di rumah menunggu berita dari suami atau anak lelakinya kesudahan drama pengorbanan keluarga terpandang yang mereka hormati dan cintai. Demikian halnya Siti Aminah, hatinya terus berdebar-debar membayangkan kejadian yang sangat mengerikan dimana Abdullah, pemuda yang diam-diam dicintainya terkapar di atas tanah tempat mereka dahulu bermain kejar-kejaran dengan darah membasahi sekujur tubuhnya. Ingin rasanya melupakan dan menghilangkan bayang-bayang kejadian yang menakutkan itu, sejenak hilang tapi kemudian muncul lagi, berulang kembali mengganggu hati dan pikirannya. Sambil menunggu berita dia berjalan mondar-mandir, sebentar duduk, dicoba berbaring sambil memejamkan mata tapi semakin jelas khayalan terbayang dipelupuk matanya. Perlahan terucap dari bibirnya: “Ya Allah, selamatkan dia . . . . . . . selamatkan dia, dia hambaMu, dia milikMu, bukan milik Abdul Mutthalib!”
Sementara di dekat Ka’bah Abdul Mutthalib membawa kesepuluh anaknya melewati kerumunan orang banyak ke dekat berhala Isaf dan Nayilah. Semua yang menyaksikan terdiam, puluhan pasang mata menatap cemas pada sepuluh remaja yang mengikuti langkah ayahnya, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Penjaga Ka’bah yang telah siap melaksanakan undian menantikan perintah dari Abdul Mutthalib yang sedang menundukkan kepala bertafakur tidak bergerak, wajahnya nampak tertekan mencoba mengatasi konflik bathin yang sangat hebat, yang belum pernah dialami sepanjang hayatnya, bahkan di seluruh kawasan Makkah tidak seorangpun yang berani melontarkan nadzar senekad itu sebelumnya. Angin gurun mulai meniup membawa udara panas, menerbangkan pasir dan butir-butir kerikil melewati mereka yang berada di dekat Ka’bah. Keringat Abdul Mutthalib nampak membasahi baju di bagian punggung dan keningnya, ketegangan semakin kuat bersama degup jantung yang semakin cepat dan tidak teratur, tapi pilihan harus segera diambil antara kehormatan memenuhi janji nadzar dengan bayangan anaknya menghadapi sakaratul maut dengan berlumuran darah dipangkuannya.
Ditengah-tengah suasana yang semakin mencekam tiba-tiba Abdul Mutthalib berteriak: “Laksanakan undian!” Juru kunci Ka’bah segera melaksanakan perintahnya, dengan gemetar dia mengocok undian yang menentukan nasib mati hidup seseorang, siapakah yang nyawanya bakal melayang di tangan ayahnya sendiri.
Bagaimanapun juga juru kunci harus melaksanakan tugasnya, dalam hatinya dia berbisik: “Seandainya saya dahulu tidak menerima amanat sebagai juru kunci Ka’bah!”
Dengan suara yang dipaksakan keluar dari tenggorokkan dia menyebutkan nama: “Ab . . . . dullah!” Bergetar hati semua orang yang hadir, ada yang tidak percaya apa yang baru didengarnya, tergetar perasaannya lemah lunglai sekujur tubuhnya. Mendengar nama anak bungsu kesayangannya disebutAbdul Mutthalib merasakan seolah-olah tanah yang dipijaknya bergerak-gerak terkena gempa, terlihat olehnya bangunan Ka’bah, wajah anak-anaknya dan orang-orang didekatnya nampak berputar-putar tanpa arah. Dia mencoba berusaha keras mengatasi goncangan bathinnya, ingin menunjukkan bahwa dirinya tetap Abdul Mutthalib yang perkasa, dihormati sebagai pemimpin yang tangguh, konsekwen dalam menepati janjinya.
Kini muncul dipermukaan sifat egosentrisnya, apakah ada hal yang lebih memalukan dari pada kehilangan martabat, kedudukan dan kemuliaan, bukankah kasih sayang pada anak bagian hati wanita. Serta merta ia menghampiri Abdullah, diseretnya anak tersebut ke dekat telapak kaki berhala Isaf dan Nayilah, sementara tangan kanannya yang kokoh memegang golok tajam yang mengkilat. Abdul Mutthalib benar-benar hendak melaksanakan nadzar buruk yang disertai kekejian tersebut, tapi Allah Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Tiba-tiba sekelompok orang yang tadinya terpaku diam maju ke depan mendekati Abdul Mutthalib, dengan nada memprotes mereka berkata: “Hai Abdul Mutthalib, apakah sesungguhnya yang hendak kau lakukan!” Dia menjawab lantang: “Aku hendak memenuhi nadzarku!” Kelompok orang-orang nampak semakin bangkit keberaniannya, mereka menyahut dengan suara keras: “Tidak, kau tidak boleh menyembelih anakmu sendiri hanya karena nadzar. Kalau hal itu kau lakukan, perbuatan seperti itu akan ditiru oleh orang-orang Makkah, bagaimana kalau hal itu berlangsung terus”.
Seorang diantara mereka yang bernama Al Mughirah melangkah ke depan langsung memegang tangan Abdul Mutthalib yang mencengkeram golok sambil berteriak: “Demi Allah, jangan teruskan niatmu ini. Kalau nadzar ini harus ditebus dengan harta dan perhiasan, kami bersedia mengumpulkan tebusan itu”. Beberapa pemuka Quraisy lainnya menyampaikan alternatip penyelesaian: “Berangkatlah bersama anakmu itu ke Khaibar, disana ada orang pintar yang terkenal, bertanyalah padanya, apakah nadzarmu itu harus dipenuhi atau dapat diganti dengan tebusan”.
Saran tersebut ternyata mempengaruhi logika dan hati nuraninya yang akhirnya menyadarkan dirinya atas kebodohan nadzar yang pernah diucapkannya tiga puluh tahun yang lalu. Pada dasarnya Abdul Mutthalib adalah tipe pemimpin yang suka bermusyawarah, bukan orang yang berkepribadian otoriter mempertahankan pendirian dan keputusan tanpa bersedia mendengarkan pendapat masyarakat yang dipimpinnya. Maka berangkatlah dia ke Khaibar untuk menemui orang pintar tersebut. Ternyata orang tersebut memutuskan agar nyawa Abdullah diganti dengan seratus ekor unta sebagai tebusan nadzarnya. Keputusan ini sangat melegakan hatinya, inilah harapan sesungguhnya dari nurani seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, seorang pemimpin yang tidak mau kehilangan martabat dan wibawanya dimata penduduk Makkah yang menghormati dan mencintainya.

Pernikahan dan perpisahan pengantin baru
Berita terlepasnya Abdullah dari cengkeraman maut nadzar ayahnya segera tersiar keseluruh Makkah dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa menegangkan di dekat Ka’bah. Mereka terus berusaha memperoleh informasi berikutnya yang datang dari Khaibar yang menceriterakan ditebusnya nyawa Abdullah dengan seratus ekor unta. Berita gembira ini disambut Aminah dengan rasa syukur yang tiada terkira, dimana pemuda tampan yang diam-diam dikaguminya telah selamat dari pembantaian ayah kandungnya sendiri.
Ibu Aminah yang bernama Barrah binti Abdul Uzza menjelaskan kejadian yang dialami Abdullah sejak Abdul Mutthalib membawa kesepuluh anaknya ke Ka’bah hingga saat-saat menegangkan sewaktu hasil undian diumumkan sampai kata putus akhir dari orang pintar yang tinggal di Khaibar. Ibunya terus memperhatikan perubahan raut wajah anak gadisnya yang kelihatan sangat berminat mendengar ceritera tentang keselamatan Abdullah, tapi kepekaan hati Aminah menangkap apa yang diraba ibunya sehingga dengan bijaksana dia berusaha menyembunyikan perasaannya.
Suasana yang sejenak hening karena keduanya terdiam tiba-tiba berubah karena kedatangan Wahab bin Abdu Manaf, ayah Aminah membawa berita yang mendebarkan hati puterinya. “Pemimpin Bani Hasyim (Abdul Mutthalib) datang melamarmu untuk dinikahkan dengan puteranya yang bernama Abdullah”. Mereka berdua terdiam, tapi nampak perubahan pada wajah Aminah meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan reaksi berlebihan.
Segera para wanita Bani Zuhrah berdatangan untuk menyampaikan ucapan selamat pada Aminah dan ibunya, mereka bercakap-cakap penuh kegembiraan, salah seorang diantaranya menceriterakan bahwasanya ada seorang wanita bernama Ruqayyah binti Naufal pernah menawarkan seratus ekor unta sebagai pengganti unta tebusan nadzar kepada Abdullah bila dia bersedia menerima wanita itu sebagai isterinya. Abdullah menjawab: “Aku selalu bersama ayahku, aku tidak mau menentang kemauannya dan tidak pula bermaksud meninggalkannya”.
Seorang ahli sejarah bernama Doktor Muhammad Husain Haikal berpendapat: “Baginya cukup dikatakan bahwa Abdullah adalah pemuda tampan yang berkepribadian, karena itu tidak mengherankan kalau banyak wanita selain Siti Aminah yang ingin dipersunting sebagai isteri Abdullah. Tetapi setelah ia menikah dengan Aminah putuslah harapan mereka”.
Sesuai tradisi pernikahan masyarakat Quraisy, Abdullah tinggal tiga hari tiga malam dirumah mertuanya, dan pada hari keempat dan seterusnya Aminah harus mengikuti Abdullah untuk tinggal di rumah Abdul Mutthalib, berada ditengah-tengah keluarga Bani Hasyim.
Suatu pagi ketika baru bangun dari tidur Aminah menceriterakan mimpi yang dialaminya kepada suaminya. Ia menceriterakan melihat sinar yang terang benderang memancar dari dirinya sehingga nampak istana Bushara di negeri Syam. Tiada berapa lama terdengarlah suara menggema yang ditujukan kepadanya: “Engkau telah hamil dan akan melahirkan orang termulia dari ummat ini”.
Sudah menjadi kebiasaan laki-laki Quraisy meninggalkan keluarganya untuk bergabung dengan kafilah dagang selama berbulan-bulan. Demikian halnya dengan Abdullah yang baru beberapa bulan melangsungkan pernikahannya dengan Aminah, dia harus berpisah dengan isterinya yang mulai terasa kehamilannya. Pada suatu malam antara jaga dan tidur sambil membayangkan perjalanan suaminya, terdengar suara seseorang yang bertanya: “Apakah engkau merasa telah hamil?” Dia menjawab:”Aku tidak tahu”. Suara itu muncul kembali: “Tidak tahukah kamu bahwa bayi yang berada dalam kandunganmu itu adalah orang termulia dan dia seorang Nabi!”
Perjalanan kafilah dagang Abdullah kini sudah memasuki bulan kedua berarti sebentar lagi mereka akan tiba di Makkah. Benar, suatu pagi terlihat iring-iringan unta dari kejauhan mendekat kota, mereka tidak lain adalah kafilah Quraisy yang datang dari negeri Syams. Bagi Aminah jalannya kafilah terasa amat lambat, hatinya gelisah ingin segera melihat wajah suaminya, makin lama rombongan semakin mendekat, terdengar suara hiruk pikuk menyambut kedatangannya. Dicarinya Abdullah diantara kerumunan orang yang berjalan kian kemari, tapi tidak diketemukannya, mungkinkah dia mampir ke Ka’bah terlebih dahulu untuk thawaf menyatakan rasa syukur atas keberhasilannya?
Keramaian semakin berkurang, suasana di sekitar tempat tinggal Bani Hasyim semakin sepi, perlahan terdengar langkah orang yang mendekatinya. Mereka adalah ayah Aminah dan mertuanya Abdul Mutthalib yang memberitahukan bahwa Abdullah belum bisa pulang karena menderita sakit yang kini sedang dirawat oleh kerabat ibunya Bani Makhzum di dekat Yatsrib.
Untuk mengetahui perkembangan kesehatan Abdullah, Abdul Mutthalib menyuruh anak sulungnya bernama Al Harits ke Yatsrib. Selang beberapa hari dia sudah pulang kembali ke Makkah sendirian dan membawa khabar yang mengejutkan bahwa Abdullah sudah wafat, jenasahnya dimakamkan disana.
Berhari-hari Aminah menanggung kepedihan, sementara badannya semakin lemah karena kehilangan gairah hidup, sulit tidur dan tidak ada nafsu makan atau minum. Tapi lambat laun muncul kesadarannya bahwa bayi dalam kandungannya memerlukan asupan makanan dari ibunya, maka dikuatkannya dirinya untuk berjuang hidup demi janin dalam rahimnya. Semangatnya mulai pulih kembali tatkala dia ingat mimpinya bahwa dia sedang mengandung seseorang yang mulia, bahkan seorang Nabi!
Kemauannya bangkit untuk menunjukkan bahwa dirinya bukanlah wanita egois, akan diperlihatkan pada orang-orang Bani Hasyim bahwa dia adalah keturunan Bani Zuhrah yang mampu mengatasi kesedihan dan kemalangan dengan ketabahan demi kehormatan keluarga dan dirinya sendiri.
Belum selesai dia berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya datang cobaan berikutnya, dimana seluruh penduduk kota harus mengungsi ke bukit-bukit batu di sekitar Makkah karena akan ada serangan dari pasukan gajah dibawah pimpinan raja Abrahah. Bagi orang laki-laki menaiki dan menuruni bukit batu terjal yang berada di pinggiran kota Makkah bukanlah masalah besar, tapi bagaimana dengan dirinya yang masih dalam keadaan lemah harus melakukan hal itu bersama bayi dalam kandungannya yang semakin membesar. Aminah tidak memahami apa maksud Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah selain yang didengarnya bahwa panglima Abrahah telah mempermalukan dirinya dengan merampas 200 ekor unta milik mertuanya Abdul Mutthalib yang melarang kabilah Quraisy untuk mengadakan perlawanan karena kekuatan yang tidak seimbang.
Tanpa diketahuinya ternyata dia bersama pembantunya Barakah Ummu Aiman telah ditinggal semua penghuni rumah pergi mengungsi ke bukit. Untunglah menjelang matahari terbenam datanglah seseorang yang memberitahukan bahwa Abrahah dan pasukan Habasyah telah dihancurkan Allah sebelum mereka menghancurkan Ka’bah.
Selang beberapa puluh hari penduduk Makkah mendengar kabar gembira bahwa Aminah binti Wahab telah melahirkan seorang putera saat menjelang fajar yang menurut perhitungan jatuh pada hari Senin tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal tahun Gajah. Pada pagi harinya dia menyuruh pembantunya memberitahu Abdul Mutthalib bahwa cucu yang dinantikannya telah lahir dengan selamat. Dialah Muhammad saw. yang akan menyinari dunia dengan cahaya Nur Illahi sepanjang masa hingga yaumal Qiyamah, manusia paling mulia, tiada Nabi sesudahnya.
Allahu Akbar!
(Sumber: “Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw.” dan Lain-lain.)

Silaturahim itu....

Oleh: Azimah Rahayu

Hujan di bulan Januari benar-benar telah menjadi hujan sehari-hari. Seperti hari itu, sebuah ahad dengan langit yang pekat. Mendung menggantung di setiap ujung langit, menghias segala lintas cakrawala. Sepanjang waktu ia menumpahkan bebannya. Beberapa saat merintik, kemudian menderas dan kadang mengguyur. Namun laki-laki itu tetap tak jeri. Tenang dan mantap dia mengendarai motornya, dengan kecepatan rata-rata, meski sesekali digebernya juga. Sesosok perempuan yang menggelendot di punggungnya tak sekalipun membuatnya mengeluh pegal dan sejenisnya. Istrinya. Ini adalah perjalanan berikutnya, setelah sebelumnya mereka menyusuri jalanan Jakarta nyaris 1,5 jam lamanya. Ini adalah perjalanan ke tujuan selanjutnya, setelah sebelumnya bercengkerama selama hampir dua jam bersama sebuah keluarga salah satu kerabatnya.
Hujan di bulan Januari sungguh memang berarti hujan sehari-hari. Seperti siang itu, sebuah siang dengan mendung gelap. Genangan air meriak di sepanjang jalan. Angin basah berkesiur, menebarkan hawa dingin menggigilkan. Suasana yang membuat nyaris semua orang enggan meninggalkan rumah. Namun laki-laki itu tak merasa perlu untuk membatalkan perjalanan selanjutnya. Sejak matahari belum lagi sepenggalah, mereka telah meninggalkan rumah. Di rumah keluarga pertama, mereka telah sekalian beristirahat sejenak sambil mengeringkan badan serta shalat dzuhur dan makan siang. Maka kini tiba saatnya mereka menuju tempat berikutnya, 45 menit lamanya naik motor dengan kecepatan rata-rata.
Perempuan di boncengan motor itu termenung. Betapa adil Allah yang mempertemukan dirinya dengan laki-laki ini. Di masa lajangnya, ia amat jarang bertandang ke kaum kerabatnya. Bukan, bukan karena ia tak punya kerabat di Jakarta, namun aktifitasnya yang sangat padat telah membuatnya nyaris tak punya waktu untuk bersilaturahmi, bahkan untuk dirinya sendiri. “Kapan terakhir kali kau berkunjung ke rumah bude-mu (sepupu ibunya) di Tebet?” pernah suaminya bertanya. “Hmm, mungkin dua atau tiga tahun lalu,” jawab perempuan itu ragu. “Kalau begitu, bude-mu mendapat jatah giliran silaturahmi pertama, oke?” saran sang suami.
Air kembali tumpah saat mereka tiba di sebuah komplek perumahan yang cukup elit. Sepasang anak kembar berceloteh riang menyambut mereka, bahkan kemudian menantang sang suami bermain catur. Seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu, bercengkerama dan bercanda gembira. Kadang-kadang, cengkerama itu diselingi diskusi seru tentang pekerjaan dan kondisi Indonesia kontemporer. Selesai shalat ‘asar, mereka kembali memacu kendaraan ke tujuan ketiga. Lagi-lagi, rintik hujan kembali menghalangi pandangan mata. Kali ini, tak sampai tiga puluh menit mereka telah sampai di tujuan. Sayang, sang tuan rumah sedang jalan-jalan ke mall. “Kita tunggu saja, paling sebentar lagi pulang!” demikian simpul si laki-laki. Sang istri tak terkejut. Ini bukan yang pertama kali. Beberapa pekan sebelumnya mereka pernah mengunjungi seorang kerabat di Pasar Rebo yang jauhnya lebih dari dua puluh kilo meter dari rumah mereka. Sayang sekali, rumah yang mereka kunjungi tak berpenghuni. Mereka kembali pulang dalam gerimis, setelah menitip pesan ke tetangga. Pekan depannya, laki-laki itu kembali mengajak sang istri untuk mengunjungi keluarga itu. ‘Kemarin kan kita belum ketemu mereka?” demikian alasannya. Meski merasa aneh, sang istri hanya mengangguk saja. Ini adalah pelajaran untuk sebuah ketulusan, demikian batinnya.
Air bagai dicurahkan dari langit ketika keluarga yang dikunjungi tiba di rumah. Sesosok balita laki-laki menghambur ke pelukan istri pria itu dan berceloteh riang, ”Tante, tadi aku ke Ramayana!” Hingga setelah shalat magrib dan hujan tak lagi mengguyur, mereka kembali menyusuri jalanan, menempuh jarak nyaris 40km. Pulang. Namun belum jauh mereka meninggalkan rumah yang dikunjungi, laki-laki itu membelokkan motornya ke jalan yang berlawanan arah dengan jalan menuju rumah. “Kita mampir sebentar ke kost-an temenku. Sudah lama dia tak berkabar dan belum juga memenuhi janjinya berkunjung ke rumah kita,” tanpa ditanya, dia menjelaskan kepada istrinya.
Malam telah cukup jauh beranjak saat mereka tiba kembali di istana mungil mereka. Masih dengan kostum lengkap, sang istri langsung merebahkan diri di pembaringan. “Aku meluruskan badan sebentar, ya. Punggungku pegal sekali dan pantatku panas,” seringainya lucu. Dia bertanya-tanya jika ia yang hanya membonceng di belakang saja secapek itu, seperti apa lelah suaminya yang menyetir di depan dengan beban dirinya di punggung, plus terpaan angin dan hujan dari depan? Tapi laki-laki itu hanya tersenyum, mengusap keningnya dan berkata,”Pekan depan kita ke rumah Bulik Nur di Tambun, yuk, Dek?”
Dalam deraan penat dan dengan mata tertutup, perempuan itu mengangguk mantap. Di benaknya terbayang sambutan hangat kaum kerabat dan sahabat-sahabat suaminya saat ia dan suaminya mengunjungi mereka. Di telinganya terngiang kembali komentar beberapa kerabat lain,”Suamimu itu dari dulu terkenal kenceng silaturahminya, makanya dia disayang oleh saudara-saudaranya.” Dia membuka mata saat sang suami menyentuh lengannya. “Kita sudah seminggu lebih nggak main ke rumah Mbak Nik, ya Dek?” tanya suaminya retoris. “Besok malam, insyaAllah,” jawabnya pendek. Padatnya pekerjaan telah melewatkan jadwal mingguan mereka berkunjung ke salah satu kerabat yang rumahnya hanya terpisah jarak dua gang dari rumah mereka itu. Perempuan itu kembali mengatupkan kelopak matanya. Di benaknya kini terlintas kata bijak para ulama, silaturahmi itu memanjangkan umur dan melapangkan rizki. Di benaknya kini terlintas sabda rasul agar setiap anak menjaga silaturahmi dengan kerabat dan sahabat orang tuanya.

Kisah Syuraih al-Qadhi Tentang Isterinya

Diriwayatkan bahwa Syuraih al-Qadhi bertemu dengan asy­-Sya'bi pada suatu hari, lalu asy-Sya'bi bertanya kepadanya tentang keadaannya di rumahnya. Ia menjawab: "Selama 20tahun aku tidak melihat sesuatu yang membuatku marah terhadap isteriku."
Asy-­Sya'bi bertanya, "Bagaimana itu terjadi?" Syuraih menjawab, "Sejak malam pertama aku bersua dengan isteriku, aku melihat padanya kecantikan yang menggoda dan kecantikan yang langka.
Aku ber­kata pada diriku: ‘Aku akan bersuci dan shalat dua rakaat sebagai tanda syukur kepada Allah. Ketika aku salam, aku mendapati isteri­ku ada di belakangku ikut menunaikan shalat dengan shalatku dan salam dengan salamku.
Maka ketika rumahku telah sepi dari para Sahabat dan rekan-rekan, aku berdiri menuju kepadanya. Aku ulurkan tanganku keubun-ubunnya, maka dia berkata, 'Perlahan, wahai Abu Umayyah, seperti keadaan­mu semula.'
Kemudian isteriku berkata, "Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Semoga shalawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya. Sesung­guhnya aku adalah wanita asing yang tidak mengetahui akhlakmu, maka jelaskanlah kepadaku apa yang engkau sukai sehingga aku akan melakukannya dan apa yang tidak engkau sukai sehingga aku meninggalkannya."
Dia lalu mengatakan, 'Bisa jadi dahulu ada perempuan yang ingin menikah denganmu dan begitu juga aku, ada laki-laki yang ingin menikah denganku. Namun Allah telah menggariskan pertemuan ini. Engkau telah berkuasa penuh terhadap diriku, maka lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Apabila ada kebaikan dalam pernikahan ini maka pertahankanlah hubungan ini dengan cara yang baik dan bila ada keburukan sehingga harus berpisah maka ceraikanlah dengan cara yang baik pula. Aku ucapkan sampai di sini saja, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untukmu.'
Syuraih berkata, "Demi Allah wahai asy-Sya'bi, ia membuat­ku terpaksa berkhutbah di tempat tersebut.
Aku kata­kan, 'Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Semoga shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya.
Sesungguhnya engkau mengatakan suatu pembicaraan yang bila engkau teguh di atasnya, maka itu menjadi keberuntunganmu, dan jika engkau meninggalkannya, maka itu menjadi hujjah (keburukan) atasmu. Aku menyukai demikian dan demikian, dan tidak menyukai demikian dan demikian. Bila ada kebaikan mari kita laksanakan, bila ada keburukan mari kita singkirkan.’
Ia bertanya, 'Bagaimana pandanganmu dalam mengunjungi keluargaku?' Aku menjawab, 'Aku tidak ingin membuat bosan mertuaku.'

Ia bertanya, 'Siapa yang engkau sukai dari para tetangga­mu untuk masuk ke rumahmu sehingga aku akan mengizinkannya, dan siapa yang tidak engkau sukai sehingga aku tidak mengizin­kannya masuk?' Aku mengatakan, 'Bani fulan adalah kaum yang shalih, dan Bani fulan adalah kaum yang buruk.'"
Syuraih berkata, "Wahai Sya’bi pada malam itu kami menikmati malam pertama, hati berbunga-bunga penuh dengan bahagia dan senang. Aku hidup bersamanya selama setahun dan aku tidak melihat melainkan sesuatu yang aku sukai. Hingga di penghujung tahun ketika aku pulang dari majelis Qadha' (peradilan), tiba-tiba ada seorang wanita tua di dalam rumahku. Aku bertanya, 'Siapa dia?' Isteriku menjawab, 'Dia adalah ipar perempuanmu.' Aku senang bertemu dengannya.
Ketika saya duduk berhadapan dengan iparku, dia mengucapkan salam dan akupun menjawabnya. Saya bertanya, ‘Siapa anda?’ Ia menjawab, ‘Saya ipar perempuanmu.’ Saya berkata, ‘Semoga Allah mengakrabkanmu dengan kami?’
Lalu bertanya kepadaku, 'Bagaimana pendapat­mu tentang isterimu?' Aku menjawab, 'Dia adalah sebaik-baik isteri.' Ia berkata, 'Wahai Abu Umayyah, sungguh tidak ada kondisi yang paling buruk bagi wanita kecuali dalam dua keadaan, ketika melahirkan anak atau ketika mendapatkan perhatian yang lebih dari suaminya. Sehingga bila kamu meragukan isterimu maka hendaklah kamu ambil cambuk. Demi Allah, tidak ada perkara yang paling buruk bagi seorang laki-laki kecuali masuknya wanita yang manja ke dalam rumahnya. Oleh karena itu, hukumlah dengan hukuman yang engkau suka, dan didiklah dengan didikan yang engkau suka.'
Saya berkata, ‘Tenanglah wahai ibu, sungguh aku telah mendidik dan mengajari beberapa adab dengan baik dan aku melatihnya untuk hidup secara baik.’
Ia lalu berkata, ‘Apakah senang bila para kerabat isterimu berkunjung kerumahmu?’ Saya menjawab, ‘Silahkan berkunjung kapan saja.’
Syuraih berkata, ‘Kerabat isteriku datang setiap penghujung tahun dan memberi nasehat seperti itu. Aku tinggal ber­sama isteriku selama 20 tahun, dan aku tidak pernah menghukumnya mengenai sesuatu pun, kecuali sekali, dan aku merasa telah menzhaliminya.”
Demikianlah sebuah kisah yang terdapat di Ahkaamun Nisaa', lbnul Jauzi (hal. 134-135) dan Ahkaamul Qur-an, lbnul 'Arabi (I/417).